Elang Lazio Terbang ke Langit Biru


Saat saya mengingat-ingat alasan mengapa saya dulu suka sama klub Lazio, ternyata yang pertama terbersit adalah sosok striker Giuseppe Signori? Masih ingat kah?

Beppe Signori, begitu ia disapa, pesepakbola mungil untuk ukuran orang Italia, wajahnya seperti bayi dengan kulit mulus bersih, tapi ia punya tendangan kidal yang sakti. Banyak yang suka gaya bermain bola Signori, skill mumpuni dengan tubuh kecil meliuk-liuk melewati pemain lawan, termasuk mengecoh kiper. 

Sempat saya mendengar ia disebut "Maradona dari Italia". Jika Beppe Signori mendapat tugas sebagai algojo penalti, semua bocah seumuran saya pasti kagum karena ia melakukan tendangan titik putih berjarak 11 meter tanpa ancang-ancang. Signori pernah melakukan tendangan sakti itu di Stadion Gelora Bung Karno pada 1996, saat Lazio menghajar Indonesia yang menyebut sebagai "Super Bintang" dengan skor 6-2, di laga persahabatan Lazio yang menjalani tur pramusim.

Alih-alih menjadi Milanisti, Juventini, Beppe Signori alasan kuat saya menjadi Laziale, bersama Inter Milan, meskipun klub ibukota itu jauh kalah mentereng dibandingkan klub raksasa Serie-A Juventus dan AC Milan. Dekade 1990-an kompetisi didominasi Juventus dan AC Milan yang bergantian memenangkan scudetto, saat Serie-A merupakan kompetisi terbaik di Eropa.

Beppe Signori harus pergi pada 1997, ketika pelatih asal Swedia Sven-Goran Ericksson datang. Lazio mulai membangun era baru di bawah kendali Goran Erickson yang terkenal dingin dan kaku sebagaimana orang Skandinavia, menggantikan era kepelatihan Zdenek Zeman dan Dino Zoff.

Dengan guyuran uang Sergio Cragnotti, pengusaha makanan gila bola, Ericksson membentuk skuad yang lebih kuat daripada musim-musim sebelumnya. Ia membawa Roberto Mancini dari Sampdoria; merekrut duet Vladimir Jugovic dan Alen Boksic dari Juventus; kemudian jangkar kuat Matias Almeyda diboyong dari Spanyol. Mereka bergabung dengan kiper Luca Marchegiani, gelandang Pavel Nedved, bek Giuseppe Favalli, dan tentunya ikon baru Alesandro Nesta.

Pada musim pertama Ericksson, Lazio sempat menjadi penantang kuat dua klub, Juventus dan Inter Milan, untuk memenangi scudetto, namun semuanya menguap pada pekan ke-28, saat kalah di kandang sendiri dari Juventus 0-1. Faktor mental menjadi pembeda waktu itu. Musim itu juga Lazio melaju ke final Piala UEFA yang digelar di Paris, namun dihajar telak 0-3 oleh Inter Milan, salah satunya gol ikonik yang diciptakan Il fenomeno Ronaldo, ia melewati Nesta dan menggocek Marchegiani.  

Ericksson penasaran, pada musim 1998/1999 ia membangun skuad lebih dalam demi ambisi scudetto. Lazio melakukan rekrutan besar-besaran dengan mentransfer Christian Vieri dengan rekor termahal dunia, lalu juga memboyong Marcelo Salas dan Dejan Stankovic. Namun lagi-lagi Lazio gagal di pengujung musim, Biancoceleste beberapa kali kehilangan poin krusial, sehingga AC Milan bisa menyalip di pekan ke-33. Meski meraih Piala Winners edisi pamungkas pada 1999, Lazio sudah menyia-nyiakan kesempatan besar meraih Scudetto.

Cragnotti dan Ericksson makin penasaran kemudian membentuk tim lebih kuat untuk musim 1999/2000. Vieri memang harus pergi karena konflik dengan Cragnotti, namun Bobo digantikan pemain-pemain top bertalenta kelas dunia seperti Juan Sebastian Veron, Diego Simeone, dan Simone Inzhagi. Aktivitas bursa transfer yang terbukti sangat penting menjalani musim pergantian millennium tersebut.

Luca Marchegiani yang selalu andal telah menetapkan standar penjaga gawang. Duet bek tengah sebagai pondasi berdiri Sinisa Mihajlovic yang jago free-kick dan tentu saja Il Capitano Nesta yang dinilai sebagai satu bek terkuat Italia sepanjang masa (jersey pertama saya kenakan dan poster perdana saya pajang di kamar adalah Nesta). Di posisi bek sayap dipercayakan pada Giuseppe Pancaro dan Paolo Negro yang berkontribusi banyak pada tim.

Di depan lini pertahanan, barisan tengah Lazio berlimpah pemain kelas atas. Ada trio Argentina: Diego Simeone, Matias Almeyda, dan Juan Veron. Dan kita tak mungkin melupakan peran Pavel Nedved yang ke depannya bisa meraih Ballon d'Or pada 2003. Sedangkan para predator Lazio juga sangat ganas dengan nama-nama Salas, Boksic, Inzhagi, dan Mancini. Semuanya memberikan peran penting. 

Dengan kedalaman skuad "Si Elang Biancoleste" menampilkan permainan menyerang yang aktraktif dari pemain-pemain berbakat dan pelatih jenius. Satu tim yang menghibur dan tak takut menyerang, satu skuad terbaik klub Italia yang pernah terbentuk.

*****

Sejarah telat mencatat, hari paling bersejarah bagi Lazio dan seluruh Laziale terjadi pada Minggu 14 Mei 2000. Hari ini tepat dua puluh tahun lalu.

Menjelang match ke-34, Juventus di bawah pelatih Carlo Ancelotti dengan rangkaian kontroversi memuncaki klasemen dengan gep dua poin dari Lazio. "Si Nyonya Besar" hanya butuh bermain imbang saat melakukan pertandingan away melawan Perugia di Stadion Renato Curi. Pada waktu bersamaan Lazio menjamu Reggina di Olimpico Stadium, sambil berharap Juventus tersandung.

Laga di Olimpico lebih dulu kelar dengan kemenangan telak Lazio 3-0. Namun mereka masih tegang karena pertandingan Perugia vs Juventus tertunda akibat hujan lebat. Pemain dan suporter masih mengharapkan keajaiban dan keberkahan dari turunnya hujan di Perugia, padahal di tempat lain cerah.

Bahkan ketika penyerang gondrong Perugia, Alesandro Calori, menjebol gawang Edwin Van der Saar pada menit ke-50, semua orang masih yakin Juventus bakal membalikkan situasi sebagaimana laga-laga sebelumnya. Bukan skuad Juventus yang tegang, namun tim dan suporter Lazio.

Berkah hujan itu benar-benar nyata bagi Lazio. Lapangan tergenang membuat pemain Juventus kesulitan mengembangkan permainan. Hingga wasit Pierluigi Collina meniup peluit panjang, skor tetap 0-1. Juventus dilanda aib dari kekalahan memalukan di pertandingan paling menentukan untuk memenangkan trofi. 

Sebaliknya, setelah dua musim bernasip "apes" di perjalanan akhir, pada pergantian abad ini keberuntungan berbalik bagi Lazio dengan merebut scudetto saat Juventus takluk oleh Peruggia di pekan terakhir di lapangan becek Renato Curi. Di Olimpico Roma, tim Lazio merayakan meriah pesta juara yang sudah lama dinantikan. Klimaks dan emosional.

Trofi scudetto Lazio 2000 merupakan satu momen terbaik saya menjadi penggemar sepak bola.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja