Review Jurnalisme di Luar Algoritma
Jurnalisme di Luar Algoritma yang ditulis Arif Zulkifli, wartawan senior dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo pertama kali diterbitkan pada November 2022, tapi saya baru tamat membacanya pada Minggu 9 Februari 2025, secara kebetulan bertepatan dengan Hari Pers Nasional.
Buku yang memuat sejumlah perjalanan Arif meliput sejumlah peristiwa penting, di dalam dan luar negeri, yang pernah menjadi berita utama Tempo, pada masa awal-awal Tempo terbit kembali sejak dibredel pada zaman Orde Baru selama 4 tahun. Arif adalah bagian kecil wartawan yang bergabung sebelum pembredelan dan balik lagi di bawah pemred Gunawan Muhammad.
Ini jenis buku yang bisa dilahap dalam satu atau dua kali duduk sambil minum americano dan menyantap pisang goreng. Arif seperti punya "photograpic memory", yakni kemampuan pancaindera yang menyerap, mengingat, dan menjelaskan setiap hal yang dialaminya dengan kuat. Ia pun mendeskripsikan reportasenya dengan ringan saja, sederhana, sekaligus memberitahukan kita dengan kisah-kisah menarik, seolah kita diajak bersamanya berpetualang.
Ada 17 lokasi peliputan Arif, yang di dalam buku juga dipakai sebagai judul bab demi bab. Dari Aceh hingga Maluku, dan Papua. Juga dari negara tetangga Malaysia, Singapur, hingga di Wales sampai penjara Al Catraz di San Francisco, Amerika Serikat. Sejumlah peristiwa diceritakan dengan lugas, tidak datar, penuh kejutan, yang menarik perhatian kita.
Karena tidak berurutan dan berbeda konteks dan lokus, kita bisa memilih bagian mana yang lebih dulu kita baca, melompat-lompati sesuai feel pembacanya. Buku dibuka saat Arif melawat ke Stockholm, Swedia pada 2000 untuk menemui tokoh karismatik, Hasan Muhammad Tiro, Pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Tapi saya memilih lebih dulu membaca bab "Maluku, Catatan Pulau Buru". Arif bercerita ia diajak Gunawan Muhammad dan Amarzan Lubis, pada 2006 melakukan perjanan jurnalistik menyusuri gulag terpencil yang dijadikan tempat mengasingkan ribuan tahanan politik Orde Baru. Amarzan salah satunya, ia dibuang dan disiksa di Buru selama hampir sepuluh tahun dan mengira ia akan mati di sana. Dalam rombongan itu juga bergabung Laksmi Pamunjtak yang belakangan menulis novel Amba yang saya sukai.
Saya juga menyenangi "Praha, Suatu Malam di Restoran Sate", kisah para bekas mahasiswa yang menjadi eksil politik di Praha setelah meletusnya peristiwa 1965. Dengan elegan Arif menceritakan pengalaman enam eksil yang sudah menjadi kakek-kakek berusia di atas 65. Mereka kompak melewati getirnya kehidupan karena kesamaan latar belakang dan perasaan senasib (stateless). Bagi mereka masa lalu terasa jauh sekaligus begitu dekat, tapi kesedihan sudah lama menguap.
Yang paling mengejutkan bagi saya barangkali cerita perjalanan Arif ke Wales, tepatnya di kota Hay-on-Wye, berjarak 400 kilometer dari London. Arif menelusuri sejarah bagaimana Hay-on kini menjadi surga bagi para pembaca buku dengan sosok sederhana Richard Booth yang gigih membangun istana-istana "Kerajaan Buku", seperti judul biografinya "My Kingdom of Books". Richard selalu percaya bahwa "Old Books Never Die".
Arif juga meliput bencana pascatsunami Aceh pada Desember 2004, perjanjian damai Helsinki 2005, dan berbagi pengalaman keseruan Frankfurt Book Fair 2015 saat Indonesia terpilih menjadi tamu kehormatan. Dengan status tersebut delegasi Indonesia menempati paviliun khusus untuk menyelenggarakan ragam kegiatan: pameran buku, diskusi, pertunjukan seni nyanyi, tari, demo masak, dan sebagainya.
Ada kenikmatan membaca dan memahami dunia kerja jurnalistik dan tradisi Tempo yang memegang independensi sebagai roh dan jiwa pers. Arif juga mengingatkan kita untuk bersikap rendah hati terhadap suatu peristiwa, tidak perlu tergesa-gesa dikejar waktu dan intensitas algoritma seperti wartawan online yang berlomba-lomba ingin menjadi tercepat mengabarkan pada dunia.
Salam hangat.
Komentar
Posting Komentar