Kisah Amba dan Dokter Bhisma di Buru

(Novel Amba dengan memorabilia penulis, dok.pri)

Sudah lumayan lama, tapi saya tetap senang mereview sebuah novel hebat berjudul Amba karya Laksmi Pamuntjak, penulis perempuan yang tidak pernah saya tahu sebelumnya pada waktu itu (2012), dan ternyata ia merupakan penyair dan salah satu penulis esai sastra paling andal yang kita punya.
Amba terbit nyaris bersamaan dengan sebuah novel berjudul Pulang, karya wartawan senior majalah Tempo, Leila S Chudori. Amba dan Pulang bersetting pada era 1960-an. Periode paling kelam dalam kehidupan perpolitikan Indonesia, yang belum tuntas hingga kini. 
Novel yang bercerita tentang latar Tragedi ‘65 sudah banyak beredar dengan berbagai sudut pandangnya, namun Amba dan juga (Pulang) dilihat dari bahan, riset, serta visi seorang Laksmi, adalah novel yang sangat berkelas.
****
Amba dibuka Laksmi dengan menggambarkan magisnya Pulau Buru yang terasing. “Di sini, laut seperti seorang ibu; dalam dan menunggu... Tapi, sesekali, sesuatu bisa terjadi di pulau ini- sesuatu yang begitu khas dan sulit diabaikan-dan orang hanya bisa membicarakannya sambil berbisik, seperti angin di atas batu yang terus-menerus membalun dan menghilang melalui makam orang yang dikenal …”
Berkisah seorang perempuan bernama Amba mencari kekasih hati pasangan jiwanya, Bhisma, seorang dokter lulusan Leipzig Jerman Timur,  yang menjadi tahanan politik rezim Orde Baru Soeharto. Mereka tak bertemu 40 tahun. Dan Amba mesti menerima kenyataan di Pulau Buru itu, Bhisma telah meninggal.
Alur ceritanya sederhana, namun novel setebal hampir 500 halaman ini, digarap dengan sangat serius. Saya membayangkan sendiri, seberapa lama mempertajam risetnya sehingga Laksmi sangat piawai mengolah kata demi kata menjadi bahasa Indonesia yang indah. Pembaca diberikan beragam kemungkinan untuk menebak sendiri apa sebenarnya yang ingin dicapai berhubungan dengan misteri politik pada 1965.
Tiga tokoh utama dalam novel: Amba, Bhisma, dan Salwa, tumbuh ketika Indonesia dipenuhi ideologi-ideologi yang kita sendiri tidak mengerti mana yang benar untuk dijadikan penuntun dalam kehidupan berbangsa. Justru ideologi tersebut menciptakan ketidakpastian, ketakutan, dan kekerasan antar kelompok, organisasi, dan meluas pada ajaran agama.
Amba adalah mahasiswa Fakultas Sastra Inggris di UGM, ia sangat cerdas dan merupakan sosok pribadi yang keras dan berbeda. Semacam Kartini pada zaman itu yang tidak mau terkungkung dengan feodalisme priyayi. Adapun Salwa adalah pemuda yang meniti karir sebagai Guru. Mereka memadu kasih di kampus biru tersebut, sebelum akhirnya Amba menambatkan hatinya pada Bhisma di sebuah rumah sakit kecil di Kediri.
Sebenarnya sosok Bhisma yang paling misterius dan paling menarik. Dia anak gedongan yang tinggal di Menteng. Alumni dokter Jerman. Namun pengalaman sekolah di Eropa itulah yang membuat dia menjadi dokter yang mengabdi pada kaum-kaum yang tertindas. Hati seorang Bhisma rupanya lebih tergerak dengan aksi kemanusiaan ketimbang menjadi dokter mapan di kota besar (Masih adakah dokter macam Bhisma?).
Tahun 1965 itu dia ditangkap di Jogja, dan diasingkan ke Pulau Buru. Di sanalah dia menjadi Resi penyembuh bagi siapa saja yang membutuhkan jasanya, tak peduli sayap kanan atau orang kiri, sampai dia meninggal. Sebenarnya Amba memiliki anak bernama Srikandi dari Bhisma kecil. Setelah Bhisma menghilang, Amba kawin dengan Adalhard Eiler, seorang Amerika yang menghabiskan waktunya di Indonesia.
Manusia-manusia dalam cerita ini adalah mereka yang tidak rela membiarkan hatinya terpenjara dalam segala batasan identitas, sekali pun keluar dari akar-akar kehidupan orang tuanya. Mereka terus membiarkan hati dan jiwa dipenuhi oleh sesuatu yang bernama cinta dan kasih sesama manusia, dalam segala misteri dan takdirnya.
Novel Amba bukan hanya sekadar peristiwa sejarah yang dituturkan secara puitik. Narasi Laksmi penuh dengan kepingan-kepingan yang bermakna dalam, namun dikemas secara ringan dan segar. Novel ini sudah diversikan dalam berbagai bahasa asing untuk dinikmati masyarakat sastra dunia, dan mengacungi jempol bahwa Indonesia punya seorang penulis keren pada diri Laksmi Pamunjtak.
Saya merasa melahap buku ini pada momen yang tepat dan romantis kala musim penghujan telah tiba, seperti frase dalam salah satu halamanya, 
Aneh memang, selalu ada yang membuat terlena dan tak berdaya pada hujan; pada rintik dan aromanya; pada bunyi dan melankolinya; pada caranya yang pelan sekaligus brutal dalam memetik kenangan yang tak dinginkan.”
Amboy.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja