The Death of Expertise; Runtuhnya Otoritas Keilmuan



Tom Nichols menulis buku yang aktual dan orisinil, berjudul Matinya Kepakaran, The Death of Expertise, Perlawanan terhadap Pengetahuan yang telah Mapan dan Mudaratnya.
Dengan cerdas, profesor U. S Naval War College dan Harvard Extension School, menunjukkan bagaimana revolusi digital, media sosial, dan internet, sebenarnya hanya memenuhi hasrat heroik, menarik dorongan narsisme yang kuat pada banyak orang.
****
Kita semua memiliki bias konfirmasi, yaitu cenderung hanya menerima bukti yang mendukung hal yang sudah kita percayai. Kita lebih mencari konfirmasi ketimbang informasi. Ini yang disebut Efek Dunning-Kruger. Otak kita memang sudah tersambung untuk bekerja dengan cara demikian.
Kita sesungguhnya berada pada masa yang sangat berbahaya. Begitu banyak orang memiliki begitu banyak akses ke begitu banyak pengetahuan, tapi sangat enggan mempelajari apa pun, termasuk gejala menolak saran para pakar.
Di era internet, kepakaran sepertinya sudah tak diperlukan. Ketika kita harus mencari tahu tentang sesuatu, kita tak lagi berkonsultasi ke ahli/pakar sebagai sumber terbaik yang dapat kita temukan. Posisi pakar yang dulu di puncak piramida keahlian, sekarang dianggap sejajar dengan orang awam. Timbul keyakinan tidak rasional bahwa semua orang sama pintarnya.
Pendidikan yang lebih baik, peningkatan akses ke data, dan semakin mudahnya arena publik dimasuki, seharusnya meningkatkan kemampuan kita dalam berpikir dan mengambil keputusan. Menurut Tom Nichols, sebaliknya, semuanya menjadi lebih buruk. Internet, menurut hipotesis Tom Nichols, justru memperlemah kemampuan orang, termasuk intelektual dalam melakukan penelitian dasar (hlm. 132). 
Tom memotret dengan baik fenomena runtuhnya standar penilaian ilmiah. Euforia media sosial yang memengaruhi hidup kita ditandai dengan ketidakmampuan kolektif untuk membedakan antara yang informatif dan spekulatif; yang proporsional dan yang berlebihan; bohong dan fakta.
Sulit membantah kenyataan bahwa kebanyakan orang awam tidak lagi mampu melihat perbedaan antara informasi sungguhan dan apa pun yang dilontarkan mesin pencari semacam google. Semua orang bisa dan bebas menyebarluaskan jauh lebih cepat dan bertahan lebih lama. Dan jika informasi itu hoaks, sangat berbahaya.
Parahnya, pihak-pihak yang seharusnya berperan menjadi penengah di antara semua 'kerusuhan' ini, seperti perguruan tinggi, pers, hingga pakar intelektual itu sendiri justru ikut terseret masuk ke dalam pusaran, menjadi bagian yang memberi andil runtuhnya otoritas keilmuan.
Kepakaran itu diraih melalui proses panjang pendidikan, pelatihan, praktik, pengalaman, dan pengakuan orang lain di dalam bidang yang sama. Tidak ada cara cepat untuk mengembangkan keahlian: dibutuhkan waktu, latihan, dan saran dari ahli yg lebih berpengalaman. Ilmuwan, melakukan percobaan berulang-ulang dan kemudian menyerahkan temuan mereka kepada orang lain dalam proses yang disebut peer-review (tinjauan sejawat).
Jika berjalan lancar, proses ini mengundang pakar kolega untuk berperan sebagai pihak lawan yang ketat namun bermaksud baik. Untuk mencegah bias pribadi yang dapat memengaruhi proses pemeriksaan. Metode ilmiah: serangkaian langkah yang terjadi dari pertanyaan umum ke sebuah hipotesis, pengujian, dan analisis.
Bias konfirmasi menganggap semua bukti yang bertentangan sebagai tidak relevan, sehingga bukti SAYA selalu menjadi peraturannya, dan bukti ANDA selalu salah atau pengecualian (hlm. 64). Salah satu ciri paling penting seorang pakar menurut Tom adalah kemampuan untuk tak terbawa emosi, bahkan saat membahas isu paling kontroversial sekalipun.
Oleh karena itu, berpikir kritis merupakan bekal untuk terus belajar. Berhati-hati pula dengan batas-batas keahlian orang lain. Kita tak dapat berfungsi tanpa mengakui batas pengetahuan kita dan percaya keahlian orang lain. Mengetahui sesuatu tidak sama dengan memahaminya.
Sebagian besar ketidaktahuan dapat diatasi jika kita bersedia belajar. Tidak seorangpun yang dapat menguasai begitu banyak informasi. Dari sejarah imperialisme, gizi anak, vaksin, politik, keamanan, dan perdagangan. Idealnya memang begitu, kita hidup dalam memiliki pembagian kerja, sistem yang membebaskan kita dari keharusan mengetahui semua hal.
Kembali lagi kita perlu ingat kita hidup pada era post-fact--masa yang berbahaya dengan banyak alasan. Saran Tom saat mengakhiri bukunya yang begitu menampar saya sebagai akademisi: bersikaplah rendah hati terkait apa yang tidak kita ketahui, kurangi sinisme, dan jauh lebih selektif (hlm. 202).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja