The King's Speech: Kepahlawanan Raja George VI


Malam tadi, saya memutar kembali film berjudul The King’s Speech. Bukan film anyar memang. The King’s Speech mengangkat kisah perjalanan kekuasaan Raja George VI, ayah Ratu Elizabeth II di Kerajaan Britania Buckingham, London.
Film ini dibuka dengan setting pada 1925 dengan menampilkan Stadion Wembley, lengkap dengan twin tower legendarisnya. Di stadion magis penuh sejarah tersebut, Raja George V menugasi putra keduanya, Pangeran Albert,-dalam lingkaran keluarga mempunyai nama Bertie, untuk membacakan pidato penutup pada sebuah event eksibisi kerajaan yang sangat prestisius.
Teks pidato telah terkonsep dan tinggal dibaca melalui siaran langsung melalui radio ke seluruh penjuru Inggris Raya. Tampak mudah, namun bagi Albert muda, kewajiban itu begitu menyiksanya. Sejak usia lima tahun, Albert yang bergelar Duke of York menderita gagap serius. Seperti yang dia khawatirkan, pidatonya berantakan. Menurut sejarah, pidato Albert di podium Wembley tersebut dinilai sebagai pidato kerajaan yang paling sulit untuk dimengerti warga Inggris.
Sebenarnya Albert bukanlah pewaris pertama Kerajaan Inggris. Albert punya kakak bernama Pangeran David, yang seharusnya pewaris pertama untuk dinobatkan sebagai Raja George VI, paska meninggalnya Raja George V. Namun Pangeran David lebih memilih menikahi seorang janda asal Wales, sehingga ia terbentur aturan kerajaan untuk menduduki tahta.
Tak ada pilihan lain, Albert gagap harus naik untuk melestarikan tradisi Kerajaan terkuat sejagad tersebut. Terlebih di masa kritis, saat Perang Dunia II berkecamuk dengan ganasnya
Penobatan Albert menjadi Raja Inggris, dan proses terapi untuk menyembuhkan penyakit mekanis tubuhnya, dengan seorang terapis komunikasi verbal asal Australia, bernama Lionel Logue,-dimainkan dengan baik oleh Geoffrey Rush. Juga bagaimana hubungan Albert dengan istrinya yang selalu siap untuk melakukan apa saja, merupakan benang merah dalam film yang berdurasi 116 menit tersebut.
Harus kita akui, duet Sutradara Tom Hooper dan penulis skenario David Seidler, sukses memaksa kita untuk berempati sekaligus tersenyum. Peran Colin Firth, yang terkenal lewat film Shakespeare in Love, dalam menghidupkan kembali sosok Albert yang gagap, memang pantas diganjar dengan trofi Academy Award pada 2012 lalu.
Menyimak akting brilian Colin Firth membuat kita para penonton seperti terperangkap mengikuti jiwa dan masuk ke dalam tubuh Albert gagap. Saya dapat merasakan emosi itu, merasa gagap, nervous, putus asa saat adegan-adegan kritis yang membawa napas kita juga terasa tak teratur, terantuk-antuk, dan itu menekan batin.
Saat Albert, Raja George VI, berhasil menyelesaikan pidato penting mengenai deklarasi perang melawan Jerman pada 1939, seketika napas kita juga terasa lepas dan terbebas. Bagian ini sangat klimaks, yang kemudian kita tahu sejarah panjang tercipta setelah pidato tersebut.
The King's Speech sangat menyentuh sekaligus menginspirasi bagi penderita gagap yang mengikuti kisah hidup King George VI. Film ini juga membawa pesan bagaimana pentingnya persahabatan tulus, jiwa berani, dan bertanggung jawab pada keluarga dan bangsa. 
Satu lagi yang mungkin sering kita lupa, bahwa selain berbicara, kemampuan mendengar juga adalah hal yang sama pentingnya. Film ini semoga dapat merefresh kemampuan komunikasi saya, yang sepertinya tidak mengalami peningkatan, bahkan cenderung terkikis.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja