Pengalaman Saya dengan Buku

(dok. pribadi)


Dulu masa kanak-kanak, saya termasuk terlambat dapat membaca. Baru bisa melek huruf saat duduk di penghujung kelas-2 sekolah dasar, sebagai syarat naik ke kelas-3. Tapi saya tak perlu malu melihat anak saya yang belum genap lima tahun sudah dapat mengeja huruf demi huruf begitu lancarnya.

Saya sudah lupa buku pertama yang saya baca. Namun, saya ingat betul bacaan pertama yang saya lahap sampai halaman terakhir, Tabloid Olahraga Bola yang dibelikan Ayah saya. Covernya petinju Mike Tyson yang sedang di puncak kejayaan. Ayah saya mengerti sejak dapat baca, saya selalu rajin membaca koran, tapi hanya sebatas rubrik olahraga yang cuma satu halaman, saya kadang tak puas. 

Berangkat dari situ dengan perjalanan waktu, hampir 30 tahun saya habiskan untuk bersekolah, dan sampai sekarang dengan tuntutan pekerjaan, membuat saya kembali harus bergelut dengan buku-buku, dan berbagai literatur. 

Namun saya cukup menikmatinya. Saya cukup beruntung, bisa bersekolah 10 tahun di kota Yogyakarta. Kota yang menyediakan banyak buku dengan harga yang terjangkau. Hampir setiap bulan saya menyisihkan uang saku anak kos yang tak seberapa untuk sekadar membeli buku. 

Buku apa saja yang ingin saya baca dan koleksi, umumnya buku diktat, buku sastra, novel, biografi, dan sebagainya. Satu pengalaman yang menyenangkan sesaat setelah membeli buku adalah menuliskan kota, tanggal, nama, lengkap dengan tanda tangan di halaman pertama buku itu. 

Hal ini saya tiru dari buku-buku Ayah yang selalu ada memorable tiap buku di lemari koleksinya. Ya, saya juga beruntung memiliki Ayah yang mempunyai koleksi buku yang dapat dengan mudah saya akses dan baca kapan saja. 

Pengalaman yang membuat saya merasa, betapa luasnya ilmu pengetahuan. Suatu fakta yang mungkin aneh adalah semakin banyak kita membaca dan belajar, semakin kita sadar bahwa banyak sekali yang tidak kita ketahui. 

Saya selalu mencari celah bagaimana cara menikmati buku. Buku tebal, apalagi tak punya gambar, hanya berisi teks-teks baku dan kaku, sering membuat saya bosan, misalnya, saya siasati saja yang saya baca terutama hanya bab-bab atau bagian-bagian tertentu yang saya anggap baru dan relevan. Membaca buku bagi saya tidak harus berarti membacanya dari halaman pertama hingga halaman terakhir. Yang penting esensi buku terebut telah saya pahami. Tidaklah juga perlu buku-buku yang kita miliki pernah kita baca semua. Yang terpenting adalah kita harus dapat menemukan penjelasannya dengan cepat saat kita memerlukannya. 

Berdasarkan pengalaman, ternyata kalau sedang mendapat mpmentum yang pas, membaca adalah kenikmatan yang berbeda, mengasyikkan, dan dapat membawa kita berpertualang ke dalam dunia kita sendiri. Kenikmatan membaca merupakan suatu pengalaman yang tak tergantikan oleh media lain pengganti buku, apa lagi secarik tanda tangan di atas buku pemilik atau pengarangnya, atau orang yang memberikan buku sebagai hadiah, memberikan nuansa kepemilikan pribadi yang berkesan. 

Buku yang bersifat portable, bisa menemani pembaca dalam keadaan apapun sampai ke tempat pribadi: di dekat bantal menjelang tidur; di sofa sambil mendengar musik; bahkan di kamar mandi; maupun di tempat publik yang ingar bingar; mengisi waktu di angkutan umum; menunggu giliran di tempat praktik dokter; menunggu boarding di terminal keberangkatan; bahkan mengisi perjalanan di perut pesawat jika tak sempat ngobrol

Berbeda dengan media informasi lain seperti tontonan televisi dan radio, interaksi dengan buku bisa dikontrol penuh oleh pembacanya. Kita bisa menutupnya jika bosan, melompati halaman-halamannya, atau mengintip akhir buku jika penasaran. Kita bisa menunda proses membaca dan menyimpan kenikmatan itu untuk lain waktu, atau melahapnya sampai habis. Bandingkan dengan media informasi lain, kita tidak bisa menunda klimaks. 

Membaca itu tidak hanya memperluas pengetahuan, bermanfaat juga mengendalikan emosional dan membantu mengatasi kesulitan-kesulitan secara psikologis. Selain itu membaca merangsang kita untuk berangan-angan yang menggairahan sekaligus menggelisahkan, sebagaimana diungkap filusuf Marcel Proust. 

Saya sepenuhnya setuju bahwa buku yang baik, paling tidak memenuhi tiga unsur. Kesatu, harus dapat menghibur dan menyenangkan. Kedua, buku harus mempunyai fungsi mengajarkan dan membimbing sesuatu. Ketiga, buku tersebut harus membuat kita tergerak untuk melakukan sesuatu. 

Bila ingin sukses, tak lagi cukup dengan semangat Ora et Labora (berdoa dan bekerja). Ia masih harus membaca. Mengutip Budayawan Shindunata, bahwa dengan membaca tidak mungkin kita hanya menjumpai kebenaran. Ketidakbenaran atau kebohongan pun akan kita dapati dengan membaca. Keduanya akan selalu menyertai kita, dan kita tidak boleh menyerah pada salah satunya.

Koleksi buku saya barangkali merupakan harta saya yang paling bernilai. Lebih baik kehilangan uang daripada kehilangan buku. Uang masih dapat dicari di mana saja, tetapi buku belum tentu dapat gantinya.

Saya berikhitiar akan merawat koleksi buku ini. Jika nanti waktunya saya telah pergi, semoga buku peninggalan saya masih dapat dimanfaatkan oleh keluarga saya, anak-anak saya terutama, teman-teman, atau siapa saja yang ingin membacanya.

Salam.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja