Cerita Sekolah Kita Era 90's

(sumber: http://milesfilms.net/bebas/)

Film Bebas bertema 1990-an, bercerita soal kerinduan pada masa-masa puberitas. Riri Riza (tentunya bersama Mira Lesmana), kali ini menawarkan konsep berbeda kepada penggemar sinema tanah air. Duet abadi tersebut keluar dari pakem dengan mengadaptasi film Korea laris, Sunny, karya Kang Hyoung-Chul. Saya sendiri belum pernah menonton Sunny. Oleh karena itu, rasa penasaran muncul seperti apa Riri mengadaptasinya.

Masih ingatkah apa saja yang Anda lakukan pada 1995?

Pada masa itu menghubungi teman harus lewat telepon kabel, telepon koin, atau langsung datang ke rumahnya. Internet masih samar-samar, komputer dioperasikan harus oleh seorang sarjana teknologi informasi. Hidup anak muda 90-an ber-geng-geng dan belum mengenal istilah viral, trending topic, tagar, dan bully-membully di dunia maya. Jika antar geng tidak saling suka, langsung berjambakan di luar sekolah usai jam belajar, agar tidak ketahuan guru BP dan kepala sekolah. Bisa dikatakan film ini bukan untuk generasi milenial angkatan 2000-an.

Film diawali dengan lagu Bidadari, dinyanyikan dengan manis Andre Hehanusa, yang dirilis dan menjadi hits, juga pada 1995. Pertemuan tak sengaja oleh dua anggota-dari enam-geng SMA yang sudah dewasa, berusia 40- tahunan, Krisdayanti (diperankan Susan Bachtiar) dan Vina Panduwinata (Marsha Timothy) di satu rumah sakit. Kris divonis mengidap penyakit parah dan diprediksi usianya sisa dua bulan saja. 

Personel geng Bebas dewasa juga ada Indy Barens sebagai Jessica yang terus melukis alisnya; Widi Mulya berperan sebagai Gina dan; Baim Wong yang memainkan karakter Jojo, satu-satunya laki-laki feminim di sana. Adapun geng Bebas masa 1995, karakter Vina diperankan Maizura; Kris (Sheryl Sheinafia), Jessica (Agatha Prescilla), Gina (Zulfa Maharani), Suci (Lutesha), dan Jojo (Baskara Mahendra).

Sebelum wafat, Kris memohon pada Vina untuk bertemu kembali para anggota geng Bebas. Jessica dan Vina kemudian mencari sahabat-sahabat lama yang hilang 23 tahun di belantara Jakarta, lewat bantuan teman sekelas bernama Eddi, yang sekarang berprofesi sebagai debitur kolektor.

Di sinilah benang merah film ini, menghubungkan dan menguraikan seluruh cerita selama dua jam penuh--kita mengamini di kehidupan kita sekarang, seringkali yang mempertemukan kita adalah peristiwa duka.

Riri Riza dengan apik mengalurkan dua plot (1995-1996) dan (2018-2019) dengan lincah, melompat-lompat dari waktu yang tidak linear. Dari satu kisah dewasa ke kisah remaja, bolak balik. Dari satu karakter tokoh ke tokoh lain. Riri, Mira, dan Gina S Noer, yang menulis skenario, juga tak lupa menampilkan sejumlah dialog dan adegan politis yang pada 1995 mulai berani menentang pemerintah tiran.

Ada dialog menyinggung kematian Marsinah, aktivis buruh yang ternyata belum terungkap jelas hingga sekarang; ada 'Intel' yang menyamar sebagai penjual nasi goreng tek-tek; ada sekompi tentara di sudut-sudut kota yang menunjukkan pemerintah mulai paranoid cikal bakal masa reformasi yang kita jalani sekarang. Menggiring penonton sedikit menapak tilas sejarah Indonesia di awal runtuhnya rezim otoriter Orde Baru.

Semua pemeran, baik pemeran geng Bebas dewasa dan geng Bebas remaja, tampil baik. Saya paling suka akting Sheryl Sheinafia sebagai Krisdayanti remaja. Menampilkan realita siswa Indonesia pada zaman tersebut.

Kita jadi ingat suasana ruang kelas dengan papan tulis-kapur; ruang kelas panas tanpa kipas angin; bermain kartu remi; adu panco; menempel kertas kepean saat ujian; dan bersenang-senang di kantin. Juga penuh dengan bahasa dan kosa kata yang liar, lucu. 'gue tiban, koit lu", "spokat", "kokay". Khas sekali dengan pilihan ungkapan dan bahasa gaul pada zaman itu.

Departemen editnya juga oke sekali. Hampir tak ada adegan yang tak penting, Riri konsisten menjaganya. Tak kalah membahagiakan adalah kumpulan lagu-lagu 1990-an yang mengisi cerita sekaligus menembus kenangan kita. 

Tentu saja ini soal selera. Tapi menurut saya, lagu zaman 1990-an lebih bagus dibanding sekarang. Lagu-lagu Siti Nurbaya (Dewa 19); Ku Jelang Hari (Denada); Cerita Cinta (Kahitna), dan tentunya Bebas (Iwa K); nadanya enak didengar, punya tema kuat, bercerita, dan enak buat buat merenung, bahkan berjingkrak. Dinyanyikan di panggung enak, didengerin sambil bekerja juga nyaman.

Saat film selesai dengan klimaks yang pas, saya rindu pada teman-teman sekolah dulu, ke mana kalian semua?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja