Kisah Bapak Tua Penambal Ban


Ban belakang motor saya tiba-tiba gembos di pelataran parkir yang penuh kendaraan. Saya menarik napas sejenak untuk menata mental agar dapat menerima kejadian pahit ini. Bagaimana tidak, saya mengetahui tukang tambal ban dari lokasi saya sekarang cukup jauh, terlebih lagi waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, biasanya sudah banyak penambal ban telah tutup.

Setelah cukup siap, saya mulai menuntun motor dengan harapan cepat menemui penambal ban sebagai penolong malam ini. Selama menyusuri jalan, saya membayangkan bahwa seharusnya waktu ini saya sudah berada di rumah untuk beristirahat setelah sepanjang hari letih dengan kegiatan. 

Butuh waktu sekitar 30 menit untuk menemukan penambal ban. Ketika saya melihat dari kejauhan sebuah alat kompresor ukuran besar berwarna orange, seketika rasa letih saya nyaris hilang. Sesaat lagi rasa capek saya mendorong motor berakhir di sini.

Saya tiba dan menghentikan motor tepat di dekat kompresor tersebut pertanda butuh pertolongan. Pemilik lapak melihat saya yang ngos-ngosan, namun penambal ban tersebut bergeming dari duduk sambil mengisap rokok. Sama sekali tak ada kesan dia berempati terhadap saya. Saat saya sampaikan saya butuh jasanya, penambal ban tersebut yang saya tebak berumur 35 tahun itu, dengan cepat berkata “Sekarang tidak bisa menambal, komponnya habis.

Saya kaget dengan caranya berbicara, rasanya tidak percaya lapak penambal ban kehabisan kompon (merupakan karet mentah untuk menutup bocor di ban). Seketika pula saya jengkel dengan penambal tersebut. Spontan saya meninggalkan lapak itu, padahal saya tahu sangat sulit menemukan penambal ban malam begini. Sesaat sebelum jauh, penambal ban tersebut sempat lagi menawarkan pilihan yang licik. “Kalau mau ganti saja ban baru!”. "Tidak usah" Balas saya.

Saya sebenarnya sudah siap mengganti ban baru, jika memang ban lama sudah tidak dapat digunakan lagi, biasanya juga seperti itu. Namun melihatnya tidak bersahabat dan bergeming dari kursinya, kemudian berbohong tak punya kompon dan tak ada niat untuk memeriksa lebih dahulu, saya tak sudi untuk menggantinya di sini. 

Saya pergi saja dengan perasaan menahan marah untuk mencari lagi penambal ban yang saya harap lebih baik dari penambal barusan. Belum hilang semua rasa dongkol, saya kembali menemui lapak penambal ban. Sudah saya pastikan akan selesaikan masalah ini di sini, saya sudah sangat capek mendorong motor.

Belum tepat benar saya memarkir motor, penambal ban yang sendiri menunggu pelanggan di jalan yang sudah sepi, langsung beranjak dari duduknya untuk bersiap mengerjakan motor saya. Dia sudah melihat saya dari kejauhan. Ternyata penambal ban kali ini bapak berusia senja, saya tebak usianya hampir 60 tahun.

Langsung saya sampaikan keluhan, bapak tersebut hanya tersenyum kecil seraya mempersiapkan alat-alatnya untuknya bekerja. Dapat saya bisa rasakan senyum bapak ini tulus dibaluti perasaan empati dan simpati melihat saya yang sudah keletihan. Saya merasa bapak ini jujur dan sangat bertanggung jawab dalam pekerjaannya. Jauh berbeda dengan pemuda penambal tadi.

Senang rasanya melihat ia bekerja ikhlas untuk menolong saya. Rasa letih saya sekejap menguap melihatnya mulai bekerja. Sambil dia bekerja, saya dipersilakan menunggu di kursi yang sebelumnya dia tempati. Saya terkesan dengan bapak ini yang tidak mau dan tak ada niat memanfaatkan kesempatan untuk berbuat curang, seperti penambal yang pertama.

Saya pun tak bisa menahan untuk mengobrol dengan bapak berhati mulia ini. tentang keluarganya; tentang tempat tinggalnya yang cukup jauh dari lapak tempatnya mencari nafkah, sehingga alat-alatnya harus dititipkan di rumah seorang pejabat kota ini, persis depan lapaknya; tentang bagaimana dia hanya tersenyum wajar mengenai banyaknya penambal ban yang curang, dan sebagainya.

Namun satu pesan yang tidak mungkin saya lupakan darinya adalah "Kamu masih muda, harus bekerja keras, harus bekerja ikhlas dan bekerja jujur." Satu nasihat yang sebenarnya klise, namun kenapa begitu diucapkan oleh bapak penambal ban ini, saya merasakan ketenangan, kedamaian yang menyentuh hati. Saya terlanjur sudah terenyuh dengan budi baik bapak yang rambutnya sudah dipenuhi dengan uban ini.

Tanpa terasa karena obrolan berdua di keheningan malam, ban gembos sudah penuh dengan angin seperti sedia kala, dan sudah siap dikendarai lagi, tanpa perlu diganti ban baru. 

Sepanjang perjalanan pulang, saya teringat nasihatnya. Saya tidak sempat menanyakan namanya, namun saya tak ragu bahwa sungguh mulia hati bapak tersebut. 

Percayalah, di dunia ini tak akan habis orang yang baik hati.

Salam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja