Membenahi Program Televisi Kita

(dok.pri)


“Saya saat berkeluarga nanti dan jika siaran televisi kita belum juga berubah atau lebih buruk, lebih baik saya membawa keluarga dan anak-anak saya pulang kampung dan tinggal di pedalaman dimana tidak tercemar dengan siaran-siaran ‘sampah’ yang ada di televisi Indonesia. Benar saya sudah muak.”

Kalimat di atas merupakan kutipan seseorang yang terdapat dalam Buku Kick Andy. Mungkin apa yang dirasakan orang tersebut juga dialami oleh beberapa masyarakat Indonesia. Mungkin juga sebagian orang menilai pernyataan tersebut terlampau ekstrem dan berlebihan. Jika kita berpikir secara rasional, pernyataan tersebut masih bisa diterima.

Memang benar, tontonan yang ditampilkan oleh stasiun-stasiun TV merupakan acara murahan, tidak ada unsur mendidik, dan hanya mengajarkan manusia untuk bermimpi tanpa harus bekerja keras. Bahkan lebih parah lagi beberapa tayangan TV telah melakukan pembohongan publik secara nyata. Hampir semua stasiun TV bergerak ke satu arah menjadi menjadi karakter homogen, mirip dan bahkan kembar identik.

Heterogenitas karakter terancam dan diabaikan. Identitas pembeda suatu stasiun TV tidak menjadi prioritas. Dalam beberapa tahun terakhir, tayangan TV didominasi sinetron murahan, infotainment selebriti mulai subuh, pagi, siang, sore, malam sampai subuh lagi terus saja diputar. Ada lagi acara kuis yang berbau judi yang memotivasi orang untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan pintas. Acara reality show juga dituding banyak mengeksploitasi kaum miskin dan dianggap memberikan janji semu. Program live music yang sering ditayangkan pagi hari ternyata penontonnya yang ramai tersebut adalah palsu, mereka penonton bohongan yang ada karena dibayar.

Lebih luas mungkin dampaknya terhadap pertumbuhan mental anak-anak dan remaja. Bagi kalangan muda dan di atasnya mungkin sudah punya pikiran rasional sehingga dapat menyaring acara yang layak untuk ditonton. Sedangkan kalangan anak dan remaja merupakan orang yang berpikir secara emosional sehingga dengan mudah terpengaruh oleh tayangan yang tidak bermutu. Ketua Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi atau akrab dipanggil Kak Seto pernah mengatakan bahwa anak merupakan peniru yang paling hebat dan sempurna.

Sebuah lembaga penelitian dalam beberapa tahun menujukkan bahwa sudah banyak korban terhadap anak dan remaja akibat pengaruh dari tayangan televisi. Pemerintah sendiri sepertinya tidak mendengar dan hanya bersifat pasif dalam hal menangani fenomena ini. Pemerintah tidak sanggup untuk mengecam dan menindak tegas para pemilik stasiun TV yang tidak pernah berpikir dampak yang terjadi, karena hanya berorientasi pada rating dan tentu saja uang yang melimpah. Pemerintah hanya berpendapat ini soal pilihan selera dan era kebebasan pers. Kebebasan untuk mengekspresikan apa saja.

Tidak mudah memang untuk dapat mengubah apalagi memaksa para pekerja TV agar dapat mengganti tayangan menjadi lebih berkualitas. Perlu adanya kerja sama dari stake holder yang dilakukan secara terus menerus. Mulai dari pemerintah, pekerja TV, pemerhati sosial, dan masyarakat sendiri sebagai konsumennya.

Pemerintah harus tegas untuk menyaring program apa yang patut untuk ditampilkan, lembaga pengeditan harus diperketat dan jika ini dilanggar maka jangan segan untuk menjatuhkan hukuman mulai dari teguran sampai pelarangan tayang. Harus dimulai berikap lebih berani dari pemerintah. Tapi harus juga diingat, keterlibatan pemerintah jangan sampai mengekang kebebasan pers seperti pada jaman sebelum reformasi.

Stasiun TV juga selayaknya menempatkan diri sebagai media pembelajaran masyarakat, di sini peran Stasiun TV untuk membantu pemerintah dalam membentuk karakter masyarakat. Harus diakui industri TV memang padat modal, sehingga bagaimanapun juga harus berorientasi pada profit. Banyak yang masih percaya industri TV dapat meraih untung tanpa harus menampilkan tayangan yang tidak mendidik. Masyarakat menilai dengan segala kreativitas para pekerja TV, sanggup memproduksi tayangan yang berkualitas tapi secara bersamaan laku dijual di pasaran.

Masyarakat sebagai konsumen sebenarnya adalah pemegang kunci dalam persoalan ini. Masyarakat sendiri yang menyukai tayangan selama ini, sehingga Stasiun TV tidak berhenti membuat acara yang serupa karena dinilai sangat menguntungkan. Mulai sekarang harus ada perubahn pola pikir dan perubahan selera dari masyarakat untuk menilai tayangan apa saja yang dapat kita tonton.

Apabila semua pihak dapat menempatkan diri pada posisi masing-masing secara proporsional, akan terwujud iklim yang kondusif bagi persaingan antar stasiun TV, sehingga akan menumbuhkan gairah untuk menghasilkan karya-karya TV yang lebih banyak dan berkualitas.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja