Dua Semifinal Klasik Piala Eropa

Segera kita akan menyaksikan pertandingan semifinal Piala Eropa 2020. Sembari menunggu, pada kesempatan ini saya ingin mengenang dua pertandingan legendaris semifinal Piala Eropa dengan drama sepak bola yang begitu kuat.

****

Masa kanak-kanak pada akhir 1980-an, buku-buku sekolah saya banyak bersampul pesepak bola Belanda, Marco Van Basten dan Ruud Gullit. Waktu itu pasukan "Oranye" yang mengusung "total foetball" kreasi Rinus Michel baru saja memenangkan Piala Eropa 1988 di Jerman Barat.

Empat tahun kemudian Belanda yang difavoritkan mempertahankan trofi "Hendry Delauney", justru secara mengejutkan dijungkalkan oleh "anak bawang" Denmark di semi-final melalui drama adu pinalti. Tembakan Van Basten, pemain terbaik dunia, diblok Peter Schmeichel. Denmark lantas menjuarai Piala Eropa 1992 setelah "meledakkan" tim "panser" Jerman di final dengan skor, 2-0, di Stadion Ullevi, Gothenburg.

Piala Eropa 1988 dan 1992 adalah awal perjalanan saya menjadi penggemar Euro. Tapi sesungguhnya saya belum mengikuti secara intens kedua turnamen tersebut. Belum bisa begadang untuk menonton laga demi laga siaran langsung di TVRI ketika itu. Masih samar-samar merasakan atmosfer bola.

Baru pada edisi ke-10, Piala Eropa Inggris 1996, saya benar-benar mulai dilanda "demam bola". Sudah seperempat abad berlalu, tapi masih banyak momen-momen spektakuler yang bisa saya ingat dari Euro 1996.

Barangkali karena alasan personal tersebut, sampai sekarang saya mengklaim Euro 1996 merupakan turnamen terbaik yang pernah saya nonton, jika diukur dari tim peserta, kualitas pertandingan, dan juga aspek penyelenggaraan euforia dengan fanatisme holigans tuan rumah Inggris yang luar biasa meriah. Pure football.

Waktu terus berjalan, Piala Eropa 2020 merupakan turnamen ke-7 yang membuat saya menjelma "gila bola" mengikuti tahap demi tahap turnamen empat tahunan ini. Ratusan pertandingan sudah saya tonton, mulai dari Inggris versus Swiss di Stadion Wembley pada laga pembuka 1996, hingga laga puncak saat Portugal mengubur impian tuan rumah Perancis, di Stade de Franc pada final 2016.

Total sudah 12 pertandingan semifinal Euro yang saya saksikan dengan penuh semangat dan gairah. Dari duel Republik Ceko mengalahkan Perancis 1996 di Old Trafford, Manchester, hingga laga semifinal 2016 saat Perancis menyingkirkan Jerman di Stade Velodrome, Marseille.

Bagi saya pribadi sebagai penikmat sepak bola, ada dua pertandingan semifinal yang paling berkesan yang masih begitu kuat menancap jika saya mengingat tentang Piala Eropa. Dua laga legendaris dengan sarat sejarah, menjadi ikon Euro.

Dua laga itu yakni, pertama, Inggris melawan Jerman pada 1996. Kedua, duel Belanda berhadapan dengan Italia pada Euro 2000. Izinkan saya menuliskan kenangan tersebut di forum ini.

1. Jerman versus Inggris, 26 Juni 1996, Stadion Wembley, London.

Inggris berhasil maju ke semifinal melalui rangkaian kemenangan spektakuler dengan kerja sama yang tergorganisasi kuat. Tony Adams cs menang menyakinkan atas Skotlandia 2-0, dan menghancurkan "total football" Belanda, 4-1, dengan menampilkan gaya khas Inggris yang kondang, "Kick and Rush". 

Tim "Three Lions" ditukangi Terry Venables dengan kumpulan pemain terbaiknya. David Seaman, Tony Adams, Stuart Pearce, duo Paul (Ince dan Gascoigne), dan duet bomber yang terkenal dengan akronim SAS (Alan Shearer dan Teddy Sheringham).

Drama itu terjadi di babak semifinal melawan rival abadi, Jerman. Di stadion klasik Wembley, diwasiti Sandor Puhl, duel ini mengulang final Piala Dunia 1966, saat Inggris pertama kali, sekaligus terakhir kali menjadi juara dunia. Laga ini juga mengulang semifinal Piala Dunia 1990, di mana Inggris bercucuran air mata setelah gagal lewat adu penalti di Turin.

Malam yang sarat beban bagi pemain Inggris, mereka harus melakukan revans terhadap Jerman, sekaligus memulihkan kembali kejayaan Inggris di masa lalu. Tiga puluh tahun lamanya hidup tanpa gelar apa-apa sungguh membuat Inggris menderita.

Inggris langsung unggul pada menit ke-3 saat Alan Shearer mengkop bola dari tendangan sudut Paul Gascoigne. 80 ribu penonton yang mayoritas suporter tuan rumah, termasuk Ratu Elizabeth II, mengira Inggris akan relatif mudah menyingkirkan Jerman kali ini.

Namun mereka lupa bahwa Jerman adalah pasukan pembunuh bayaran yang kejam. Stefan Kunzt dengan cepat membuyarkan kegembiraan tuan rumah pada menit ke-16, dari serangan kilat yang tak bisa diantisipasi. Setelah itu kedua kesebelasan saling mengunci hingga waktu normal selesai. 

Pada babak tambahan, Inggris menggempur pertahanan Jerman yang dikomandoi Mattias Sammer. Paul Gazza nyaris mencetak golden goal pertama di akhir waktu, bola yang bergulir di mulut gawang Andreas Koepke tak mampu diteruskan Gazza yang hanya berjarak sepersekian detik dari laju bola.

Lagi-lagi mengulang drama di Turin 1990, Inggris kembali takluk melalui adu penalti. Dari seluruh 12 eksekutor dari kedua tim, hanya tembakan pelan algojo Southgate yang gagal bersarang. Inggris dipastikan kalah 5-6 setelah pemain senior Andreas Moller menaklukkan David Seaman. 

Selesai sudah semuanya. Impian "football's coming home" itu kembali digagalkan oleh Jerman yang dibintangi Andreas Kopke, Mattias Sammer, Thomas Helmer, dan Jurgen Klinsmann di bawah pelatih dingin berwajah pucat, Berti Vogts.

Sementara publik Inggris terutama Southgate larut dalam kesedihan mendalam. Southgate menangis digandeng kapten Tony Adams. Dia merasa telah meruntuhkan seluruh impian negaranya. Perjalanan waktu Southgate disematkan ikon kegagalan pinalti Inggris. Sebagaimana jika publik sepak bola mengingat pemain Italia Roberto Baggio yang tendangannya melambung tinggi di final Piala Dunia 1994.

Bagi saya, ini kekalahan paling menyakitkan bagi Inggris daripada banyak kekalahan Inggris di berbagai turnamen besar.

https://www.theguardian.com/football/live/2020/mar/24/england-v-germany-euro-96-semi-final-live

2. Italia vs Belanda, 29 Juni 2000, Stade Amsterdam Arena, Amsterdam.

Belanda ditantang Italia untuk memperebutkan satu tiket final Piala Eropa. Belanda sebagai tuan rumah maju ke semifinal dengan meraih empat kemenangan secara meyakinkan, termasuk menghancurkan Yugoslavia, 6-1, di babak perempat final. Sedangkan Italia ke semifinal berkat aksi yang sebenarnya biasa-biasa saja. Italia kali ini sama sekali tidak diunggulkan dan diprediksi bakal angkat koper besok pagi.

Pada menit ke-20, Italia sudah harus bermain dengan 10 pemain melawan Belanda yang didukung 50.000 suporter dengan "mengoranyekan" Amsterdam Arena. 

Waktu normal 90 menit, Belanda melalui De Boer brother, Philip Cocu, Edgar Davids, Dennis Berkamp, dan Patrick Kluivert, menggempur bertubi-tubi "gerendel" Italia yang dikomandoi Paolo Maldini. Saya juga heran tak satupun bola yang berkenan masuk ke gawang Italia yang dikawal Francesco Toldo.

Extra-time saya kira cukup menamatkan perlawanan Italia. Dan ternyata lagi-lagi salah, meski terus mengepung dan kembali mendapatkan hadiah tendangan penalti, jala Italia tetap tak terkoyak. Frank Rijkard, pelatih Belanda, sampai berkata ada malaikat kecil yang menjaga gawang Toldo.

Dan akhirnya inilah hukuman buat Belanda. Mereka kalah secara tragis melalui adu penalti yang memang sangat dinantikan oleh kubu "Gli Azzury". Dari empat algojo Belanda yang bertugas hanya sontekan Kluivert yang menembus gawang Toldo, bahkan tendangan Japp Stam melambung tinggi jauh keluar stadion. Ada yang berkomentar bola tersebut sampai ke Rotterdam, tempat partai final Piala Eropa 2000 akan digelar. Sedangkan kita masih ingat tendangan penalti Francesco Totti menchip gaya Panenka menipu Edwin Van Der Saar menjadi inspirasi. Master class.

Di balik satu malam buruk Belanda, kita disajikan salah satu pertujukan seni bertahan terbaik Italia. "La Nazionale" mendapat tiket final berhadapan dengan Perancis.

***

Demikian dua pertandingan bersejarah tersebut yang masih bisa saya kenang. Barangkali karena itu saya masih menanggap Piala Eropa Inggris 1996 dan Piala Eropa Belgia-Belanda 2000 merupakan turnamen favorit saya hingga saat ini.

Salam Euro.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja