Final Piala Eropa 2020 di Stadion Wembley

https://www.uefa.com/uefaeuro-2020/match/2024491--italy-vs-england/

Mungkin klise untuk ditulis, sejak melihat drawing babak gugur Piala Eropa 2020, saya berharap Inggris dan Italia bisa berjumpa di pertandingan final.

Sejak mulai merasakan "demam bola" pada Piala Dunia 1994 dan Piala Eropa 1996, Italia dan Inggris merupakan jagoan saya setiap turnamen besar. Sederhana, karena saya tumbuh menjadi penggemar sepak bola dari siaran Liga Italia dan Liga Inggris sejak awal era 1990-an.

Tekun menonton setiap akhir pekan Seri A dan Premiership mendoktrin saya seperti ungkapan "tak kenal maka tak sayang".

****

Hari istimewa, dunia sepak bola menantikan dengan penuh semangat untuk menyaksikan final Piala Eropa 2020 atau edisi ke-16 yang bertepatan dengan perayaan 60 tahun UEFA, otoritas sepak bola Eropa menggelar turnamen paling prestisius, pertama kali dilaksanakan pada 1960.

Italia atau Inggris akan mendapatkan "kehormatan" ketika salah satu finalis memenangkan gelar Euro 2020 di Stadion Wembley, London pada hari Minggu, 11 Juli 2021.

Tak ada tempat yang lebih indah untuk memenangkan trofi sepak bola daripada di Wembley. Memainkan laga final di "Katedral" sepak bola, adalah impian terbesar bagi setiap pesepak bola, terutama pemain Inggris. 

Wembley adalah saksi bisu Inggris menjuarai Piala Dunia 1966. Satu-satunya kejayaan yang pernah diukir oleh negara yang mengklaim sebagai asal sepak bola modern.

Final selalu berbeda dari pertandingan lain. Tingkat permainan sudah sangat tinggi dan atmosfer sungguh spektakuler. Banyak hal dikait-kaitkan jika kita sudah sampai final turnamen besar. Semuanya diumbar ke publik, dan dunia akan terbelah dua kelompok besar, sesuai naluri manusia yang senang dengan perbandingan: baik atau buruk; kawan atau lawan; kita atau mereka.

Saya tak hendak membahas kekuatan kedua finalis soal teknis dan tim mana yang lebih berpeluang dalam hal presentase. Jauh lebih menarik bagi saya adalah kisah-kisah yang melatar belakangi laga "Gli Azzuri" melawan "The Three Lions". Sejarah, kenangan dan persepsi mencari makna dari perjalanan kedua tim finalis.

****

Jalan Italia dan Inggris melangkah ke partai puncak sungguh tidak mudah. Harus diraih dengan perjuangan keras, penderitaan, dan pengorbanan yang tak terhingga nilainya. 

Jika kita mundur tiga tahun ke belakang, rasanya kita sulit untuk percaya bahwa Italia bisa maju ke final Euro 2020. Seolah-olah kita sudah lupa Italia tak lolos di Piala Dunia Rusia 2018. 

Kegagalan itu adalah aib, tragedi besar dalam negara sepak bola yang sudah empat kali juara dunia dan sekali memenangkan Piala Eropa. Italia yang ditangani Gian Piero Ventura berada di masa kegelapan.

Roberto Mancini kemudian datang dari titik terendah sepak bola Italia pada 2018. Mancio mengusung "renaissance", masa pencerahan. Dengan giat Mancini bekerja membangun dari nol skuad Italia, dan saat ini telah mencapai sesuatu yang istimewa untuk mendapatkan kembali cinta dari seluruh negara dan disegani di tingkat persaingan internasional.

"La Nazionale" salah satu tim yang diuntungkan dengan tertundanya Euro selama setahun. Talenta-talenta muda "Gli Azzuri" yang dipoles Mancini sejak pertama kali menangani tim pada Mei 2018 bisa punya waktu lebih panjang untuk terus semakin padu dan membangun mentalitas kuat.

Italia paling pesat perkembangannya ketimbang tim manapun. Tim yang fantastis dengan melewati 33 pertandingan tanpa kekalahan. Italia telah menjadi tim top selama tiga tahun terakhir. Banyak pundit dan media, menilai pasukan muda Mancini adalah tim terbaik dan terorganisir di Euro 2020. Anggota skuad bersatu sebagai tim dan tidak ada pemain yang mementingkan ego.

Setelah tampil nyaris sempurna di penyisihan Grup A, Giorgio Chiellini cs mengalahkan dua tim favorit, Belgia dan Spanyol. Mereka bermain dengan energi besar dengan gaya yang hebat. Menunjukkan permainan menyerang yang makin ampuh, sekaligus pendekatan pragmatis dengan pertahanan kuat, seperti saat mengalahkan Spanyol di semifinal. 

Cara mereka bermain enak ditonton. "Gli Azzuri" bermain tanpa tekanan, bahkan hingga perpanjangan waktu dan adu pinalti. Tak ada yang ragu bahwa Italia pantas berada di final. 

Dan kini di ujung perjalanan fantastis itu, di depan meraka ada Inggris yang akan didukung secara meriah 50 ribu fans (dari 65 ribu penonton di final Wembley). 

****

Sebagaimana Italia, Inggris kini sudah menunjukkan kesatuan sebagai tim solid.

Tim-tim Inggris sebelumnya berisi kumpulan pemain yang telah dikalahkan oleh dirinya sendiri, berlomba menjadi bintang karena perhatian media kepada tim Inggris selalu menjadi prioritas. Tiap berangkat ke turnamen, Inggris hanya membawa nama besar, tanpa menampilkan sepak bola kelas dunia. Penampilannya selalu mengecewakan, tidak bergairah, seperti kurang tenaga. 

Steven Gerrard dalam bukunya, My Story, mengungkap darah panas Inggris sulit dibantah, para pemain lebih suka menjadi bintang, kurang fokus pada sepak bola. Kesombongan mendahului kejatuhan, anggota skuad Inggris selalu merasa 'inilah aku, pemain Liga Inggris', kompetisi paling menarik dan paling kompetitif di dunia".

Berkat kerja keras dan kerendahan hati Gareth Southgate, manajer Inggris yang masih punya 'trauma' Euro 1996, Inggris saat ini jauh lebih solid dari tim Inggris yang pernah ada. Mereka dengan kekuatan mental dan kolektivitas tim tak mudah menyerah pada situasi tersulit sekali pun.

Inggris menjelma tim yang hebat, mereka kuat secara fisik dan teknis, dan bertarung berjuang sampai akhir. Telah mereka tunjukkan penampilan semakin solid dari pertandingan ke pertandingan selanjutnya.

Meski tampil kurang garang di penyisihan, sejak babak gugur, permainan impresif yang memukau ditunjukkan "Three Lions", yang memiliki kekuatan di lini serang, dan intens mengeksploitasi pertahanan lawan. 

Masterplan Gareth Southgate dieksekusi dengan sangat baik pasukan "Tiga Singa". Lebih dari persoalan teknis dan sejenisnya. Inggris sudah berhasil mengatasi belenggu blok mental, mulai melewati fase grup tanpa kebobolan, menyingkirkan Jerman, atau mencetak empat gol dalam pertandingan knockout, dan tentu saja, mencapai final.

Tim yang dibangun Gareth Southgate tinggal selangkah lagi untuk menyamai prestasi sakral pada Piala Dunia 1966. 

Betapa panjang perjalanan Inggris menjemput trofi kejuaraan besar, sudah melewatkan 25 turnamen (Piala Dunia dan Piala Eropa). 

Rentang 55 tahun itu sama dengan dua generasi. Sejak tahun 1966, ada sepuluh Perdana Menteri Inggris, dari Edward Heath sampai Boris Jhonson. Pada 1966, Ratu Elizabeth II masih sangat muda, 41 tahun. Ahli warisnya baru Pangeran Charles, dan sekarang sudah ada dua lagi ahli waris tahta, yakni cucunya Pangeran Williams, dan buyut Pangeran George, yang kerap menyambangi Wembley selama Euro 2020. 

Ratu Elizabeth II bahkan merasa perlu menuliskan surat resmi kerajaan untuk Southgate dan skuad. Ratu Elizabet mengenang 1966 dalam suratnya, ia beruntung mempersembahkan piala dunia kepada kapten Bobby Moore dan melihat makna besar bagi para pemain, manajemen, dan staf pendukung untuk mencapai dan memenangkan final turnamen besar sepak bola internasional. Ratu punya harapan besar pada seluruh skuad tidak hanya untuk kesuksesan tim Inggris, tetapi juga semangat, komitmen, dan kebanggaan bersama.

Penggemar yang sudah lama menderita dengan kekalahan demi kekalahan kini punya kesempatan memulihkan kekecewaan. Di bawah langit dan cahaya terang Stadion Wembley, Inggris bersiap berpesta.

****

Sekali lagi, inilah sepak bola tingkat tinggi. Piala Eropa membuktikan bahwa turnamen ini lebih menuntut hal mendetail yang dibangun dengan niat dan tekad kuat. 

Italia dan Inggris telah menjalani turnamen dengan luar biasa. Kedua tim akan memiliki momennya masing-masing. Siapa di antara Harry Kane atau Giorgio Chielini yang mengangkat  tinggi-tinggi trofi silver Hendri Delanuey? 

Sekali lagi stadion magis Wembley menjadi saksi bisu sejarah hebat sepak bola.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja