Perjalanan Darat dan Laut dari Bali ke Surabaya


Satu hari setelah ajang MotoGP Mandalika, Lombok, NTB, Pada Senin 21 Maret 2022, Vera dan saya sudah harus terbang ke Bali, sesuai tiket yang sudah dipesan jauh sebelumnya. Padahal bisa saja kami tetap stay menikmati Lombok beberapa hari ke depan. 

Di Bandara Praya pada Senin siang itu penuh oleh penumpang efek perhelatan MotoGP yang menjadi pusat perhatian publik balapan global. Saya bertemu dengan beberapa kru tim yang juga hendak meninggalkan Lombok dan bersiap untuk balapan selanjutnya, MotoGP serie Argentina.

Kami belum punya tiket kepulangan. Sepekan sebelum dan sesudah ajang MotoGP, tiket pesawat dari dan menuju Lombok maupun Bali meroket berkali lipat. Tiket Bali ke Makassar sulit didapat, kalau pun tersedia harganya sudah hampir 2 juta, dari harga normal 700 ribu. Sebagai bandingan harga tiket keberangkatan dari Makassar-Bali-Lombok kami beruntung dapat seharga 1 juta rupiah.

Kami tiba Bandara Ngurah Rai menjelang sore dilanjutkan ke hotel Lloyd's Inn di kawasan Seminyak, Badung, untuk berisirahat, memulihkan stamina dari perjalanan balapan kemarin yang melelahkan. Rencana awal kami di Bali dua malam, kemudian melanjutkan ke Jogja. Sayang tiket penerbangan dari Bali tujuan Jogja juga masih sulit didapat dengan harga terjangkau, sudah mencapai harga 1,8 juta rupiah.

Setelah berdikusi, akhirnya kami sepakat memutuskan meninggalkan Bali lebih cepat, pada Selasa sore menuju Surabaya dengan travel dan melanjutkan perjalanan ke Jogja dengan kereta api. Direncanakan tiba di Jogja pada Rabu siang. Ya hanya satu malam saja di Bali untuk sekadar istirahat dan melaundry beberapa lembar pakaian.

Kami menggunakan jasa agen travel Bali Purnama 99, dijemput pada pukul 17.15 di suttle Pizza Hut Sunset Point Seminyak, setelah kami makan siang dan ngopi. Dibawa terlebih dahulu ke kantor pusat travel di Jalan HOS Cokroaminoto, Ubung, Denpasar, untuk bergabung dengan penumpang lain sekaligus mengangkut barang kiriman pelanggan.

Di kantor Bali Purnama, kami bertemu owner Arief Purwan dan Isyani, istrinya. Ia bercerita bagaimana mulai merintis bisnis ini dan sangat terpukul saat pandemi. Arief juga mengklaim travelnya merupakan satu-satunya yang dimiliki pengusaha muslim di Bali.

Perjalanan dimulai pada pukul 19.15 dengan armada model Elf berpenumpang 14 seat, di mana hanya satu yang kosong pada malam itu. Tiket Bali Purnama seharga 230 ribu rupiah, sudah termasuk snack donat, air mineral, tiket penyeberangan feri, dan voucher makan lewat tengah malam di Banyuwangi, setelah menyeberang.

Dari Denpasar yang ramai menyusuri daratan pulau Bali seperti Tabanan, Nagara, dan Jembrana, untuk menyeberang menggunakan kapal Feri di Gilimanuk. Ini pengalaman kedua saya, sedangkan bagi Vera pengalaman pertama mencoba perjalanan darat dan menyeberang dari Bali ke Pulau Jawa. 

Meskipun sudah larut malam aktivitas Pelabuhan Penyeberangan Gilimanuk masih ramai. Mobil kami harus mengantri sekira 20 menit untuk bisa masuk ke lambung kapal. Gilmanuk adalah pelabuhan yang sibuk beroperasi melayani pelayaran yang menghubungkan Bali dan Pulau Jawa. Termasuk penyeberangan jarak pendek yang bisa ditempuh 45 menit pelayaran.

Vera dan saya mengisi waktu penyeberangan di dek lantai 2 dengan membeli secangkir kopi dan cemilan di kantin kapal, sambil menikmati pemadangan indah dan suasana malam Selat Bali yang penuhi temaram lampu di sepanjang pelabuhan. Anginnya cukup kencang dan deru ombaknya pun bisa terasa, penyeberangan yang asyik dan menyenangkan hingga kita sudah tiba di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur.

Tak lama setelah menyeberang rombongan dibawa untuk istirahat dan makan menjelang pukul 24.00 dinihari di Rumah Makan Depot Titin, yang menyajikan masakan khas Trenggalek. Ini rest area yang ramai, juga langganan banyak travel dan PO bus beristirahat.

Dari Depot Titin perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri Banyuwangi, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo, dan Surabaya. Pada rute ini rasa mengantuk mulai datang, tapi sebelum tidur, saya menunggu momen melintasi kawasan PLTU di kawasan Paiton, perbatasan Situbondo dan Probolinggo.

PLTU Paiton adalah pembangkit listrik tenaga uap raksasa yang dapat menyinari Pulau Jawa dan Bali. Gemerlap lampu merkuri dari kemegahan bangunan yang terbuat dari kerangka-kerangka cerobong besi raksasa yang kokoh menjulang menciptakan suasana malam yang luar biasa cantik. 

Di balik kemegahannya kawasan Paiton juga mengingatkan saya pada tragedi kecelakaan mengerikan yang terjadi pada Oktober 2003, saat bus yang mengangkut rombongan satu sekolah SMK Sleman terbakar dan menewakan 54 penumpangnya. Saat itu saya masih di Jogja bisa merasakan duka mendalam keluarga korban.

Setelah menempuh hampir 450 kilo meter yang ditempuh sekitar 10 jam, menjelang subuh kami terbangun dan posisi sudah di Sidoarjo, waktunya driver untuk mengantar satu per satu penumpang ke rumah masing-masing. 

Vera dan saya tiba di Surabaya bersamaan dengan sunrise di jantung kota pahlawan, tepatnya di Stasiun Gubeng, untuk melanjutkan perjalanan ke Jogja, dengan Kereta Api Sancaka pada pukul 9.04. Sambil menunggu keberangkatan kami yang masih dua jam, kami menyempatkan sarapan di Soto Madura Gubeng Pojok Asli Pak Haji Ali yang terletak di belakang stasiun.



Good Morning, Surabaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja