Banyak Kisah Perjalanan Mudik

arsip pribadi

Saat saya menuliskan catatan kecil ini, kita sudah berada di pengujung bulan Ramadhan. Suasana lebaran sudah mulai terasa di tengah masyarakat.

Hari lebaran adalah hari penuh syukur. Pada 1 Syawal Hijriah adalah Idul Fitri yang mempunyai makna kembali ke fitrah. Saatnya merayakan kemenangan perjalanan bulan Ramadhan. 

Dalam kehidupan sehari-hari, orientasi kita cenderung konsentrasi pada pekerjaan-pekerjaan yang tiada habisnya, sehingga kita acap kali lupa bertanya pada diri kita sendiri. Lebaran adalah momen yang tepat sebagai media kita untuk membatin dan bertanya seberapa jauh kefitrian jiwa kita. 

Satu yang menyertai setiap lebaran adalah mudik. Budaya mudik sebenarnya tidak diatur oleh agama secara normatif. Mudik hanya peristiwa dan tradisi budaya yang berhubungan dengan peristiwa agama Islam dan di Indonesia.

Ada upaya mengenang masa lalu, mengenalkan tradisi tersebut kepada generasi selanjutnya, serta tidak ketinggalan mengembangkan nilai-nilai tradisi agar budaya ini semakin kuat.

Di Indonesia, mudik sangat terkait dengan aspek psikologis, karena ikatan komunitas kita sangat kental unsur kedaerahan dan kesukuan sebagai identitas. Ada dorongan yang begitu besar untuk menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh keluarga, terutama orang tua.

Siapa pun yang pergi merantau dan sehebat apapun orientasi dunia mereka, ketika datang momen lebaran, akan dihinggapi kerinduan yang kuat untuk pulang ke tempat lahir dan tempat menyimpan memori dari masa tumbuh kembang dari manusia kanak-kanak hingga dewasa. 

Pulang mudik sudah sepantasnya dirayakan karena kita kembali ke akar budaya, yang membentuk jati diri kita sebagai manusia yang begitu bergantung dengan kehidupan sosial. 

Bagi saya pribadi yang lahir, tumbuh, dan menetap di kota, mudik tidak lagi berarti pulang kampung. Saya termasuk masyarakat urban yang kurang mempunyai ikatan emosional yang kuat dengan kampung. Tidak seperti ayah dan ibu saya yang lahir dan tumbuh di kampung, yang selalu rindu kampung halamannya untuk bertemu dengan banyak kerabat di sana.

Adakah kebahagiaan yang melebihi kenikmatan merayakan hari lebaran selain dengan berkumpul bersama keluarga?

Selamat mudik dan lebaran bersama keluarga, merayakan libur lebaran, bermaaf-maafan, menyambung dan memperkuat silaturahmi. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja