Review Buku Generasi Cemas
Pada saat awal kemunculan internet, smartphone, dan media sosial, mulai pada 1990-an kita semua dilanda eforia. Membuat hidup lebih mudah, lebih menyenangkan, dan lebih produktif. Setahu saya tidak ada yang berpikir ini juga berdampak buruk pada kesehatan mental satu generasi.
Buku Anxious Generation karya Jontahan Haidt yang pertama terbit pada 2024 terdiri empat bagian dan 12 bab menjelaskan kepada kita semua secara meyakinkan akan dampak buruknya. Haidt adalah seorang profesor di Universitas New York yang sebelumnya menulis juga buku laris, The Righteous Mind (2012).
"Generasi Cemas" di sini adalah anak-anak dan remaja yang lahir pada 1995-2010, yang dinilai paling rentan akan bahaya kehadiran smartphone dan media sosial, terutama hasil riset pada periode 2010-2015.
Ya, segalanya berubah pada awal 2010-an. Generasi Z diyakini tidak memiliki akar dan seperangkat norma jelas untuk membatasi dan memandu mereka di jalan menuju kedewasaan. Smartphone dan media sosial menyebabkan penurunan kesehatan mental dan fisik, konflik dalam keluarga, serta kesulitan di bidang kehidupan lainnya. Kita menyaksikan degradasi kualitas hidup sosial secara luas yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Saya membaca buku ini dengan perasaan gelisah karena sementara saya asyik membaca, dua anak perempuan saya-berusia 12 dan 10 tahun- juga asyik berselancar di gawai masing-masing. Algoritma media sosial dirancang untuk membuat mereka tetap online selama mungkin. Saya ingin melarang mereka tapi terasa tak adil karena saya kadang juga menghabiskan waktu sia-sia dengan menggulir informasi tak penting di ponsel. Kehidupan keluarga seolah-seolah dikuasai perselisihan mengenai teknologi, tanpa kita paham sesungguhnya harus berbuat apa.
Banyak orangtua merasa lega ketika smartphone mampu menjaga anak dan tenang selama berjam-jam. Apakah itu aman? Tidak ada yang tahu, tapi banyak orang melakukannya, seolah itu menjadi hal yang dianggap baik-baik saja. Haidt mengoreksi pola asuh kita yang salah kaprah. Kita overproteksi di dunia nyata dan kurangnya perlindungan di dunia maya. Pola pengasuhan serba melindungi (parenting helikopter) dapat menghalangi perkembangan kompetensi, kendali diri, toleransi terhadap frustrasi, dan manajemen emosi. Informasi saja tidak cukup membentuk otak anak yang sedang berkembang, permainan-lah yang membentuknya (hlm, 39).
Saya kemudian teringat masa kanak-kanak dan remaja saya pada 1980-an hingga akhir 1990-an dilalui dengan kebebasan yang luar biasa menyenangkan. Dulu dekat rumah ada tanah lapang yang digunakan untuk banyak permainan. Sepak bola, petak umpet, galasin, bola-boy, bom-bom, tar-tar, cengkeh, layangan, kelereng, dan yang lain. Dalam permainan itu saya kadang terjatuh, terluka memar, menangis, bahkan mengerang kesakitan, dua kali pelipis mata kiri saya sobek yang mengeluarkan darah karena benturan.
Sejak berusia 9 tahun, saya sudah pulang sekolah sendiri dengan angkot pete-pete, terkadang singgah dulu main ke rumah teman atau di mana saja, tiba di rumah menjelang Magrib. Berlanjut di masa remaja SMP dengan pergaulan yang lebih jauh, saya sering pulang menjelang pukul 12 malam. Orang tua saya tidak pernah memarahi secara berlebihan, sesuatu yang normal pada saat itu.
Ternyata pengalaman-pengalaman tersebut justru berguna daripada buruk. Pengalaman yang mengajarkan bermain berjuang, menghadapi risikio, belajar bekerja sama, mengambil keputusan, dan belajar menerima apapun hasil permainan. Saya bersyukur telah merasakan apa yang disebut Jonatah Haidt sebagai masa kanak-kanak yang berbasis permainan.
Sekarang yang menimpa Generasi Z adalah masa kanak-kanak berbasis smartphone dan media sosial. Dengan gigih dan terus terang, menakutkan tapi sulit dibantah, Haidt memaparkan anak-anak menghabiskan lebih sedikit waktu untuk bersosialisasi secara langsung dan lebih banyak waktu terpaku pada layar mereka, dengan anak perempuan kecanduan harga diri di media sosial dan anak laki-laki ketagihan dengan video game dan pornografi.
Di bagian akhir, Haidt menawarkan solusi yang memang tidak mudah, juga setelat apapun solusi itu masih lebih baik untuk dilaksanakan. "Ada lubang berbentuk Tuhan di setiap hati manusia," tulis Haidt, mengutip filsuf Prancis Blaise Pascal. Mungkin kita harus mulai berpikir lebih banyak tentang semua hal yang tidak kita lihat, semua orang yang tidak kita ajak bicara, semua pikiran yang tidak kita biarkan diri kita selesaikan, karena kita terpaku pada "smartphone" bodoh kita.
Haidt mengajak kita perlu kerja kolektif, pemerintah, perusahaan teknologi, sekolah, dan orang tua. Kerja kolektif yang bukan klise.
Komentar
Posting Komentar