Review Buku The Righteous Mind Karya Jonathan Haidt

"Lebih baik menjadi mulia tapi tidak dipercaya daripada terlihat mulia tapi dipercaya"

Buku The Righteous Mind, banyak mengutip eksperimen perilaku manusia. Jonathan Haidt penulisnya, mengantar kita dalam perjalanan singkat mengenai asal-usul kemanusian, menelusuri hakikat manusia dan sejarahnya dari perspektif psikologi moral.

Haidt membagi bukunya dalam tiga lintas bidang: filsafat, antropologi, dan politik. Psikolog sosial University Virginia ini menjadikan percakapan tentang moralitas, politik, dan agama lebih umum, lebih santun, dan lebih asyik. 

Haidt memulai dengan memasukkan anekdot-anekdot sejarah, kutipan-kutipan dari filusf zaman dulu, dan pujian kepada beberapa orang yang visioner. Ia menyetel dan membangun metafora "penunggang" dan "gajah" sepanjang buku untuk memahami psikologi moral; penunggang (proses terkontrol) dan gajah (proses otomatis).

Manusia (omnivora) menjalani hidup dengan dua motif yang saling bersaing: neofilia (ketertarikan pada hal-hal baru) dan neofibia (ketakutan akan hal-hal baru), bukan hanya makanan melainkan juga orang, musik, dan gagasan baru (hlm. 196).

Haidt berpendapat moralitas itu luas, bukan sekadar bahaya dan ketidakcurangan. Ia berbeda-beda ukurannya di seluruh dunia. Moralitas adalah konstruksi budaya. Antara kelompok konservatif dan liberal, antara Partai Republik dan Partai Demokrat moralitasnya berbeda satu sama lain.

Maka dari itu, Haidt punya penilaian meyakinkan moralitas adalah kemampuan luar biasa manusia yang memungkinkan adanya peradaban.

Untuk memperoleh pengetahuan moral maka rasionalis juga mesti dibangun dengan baik. Cara paling efektif: berpikir secara holistik dan analitis.

Tujuan Haidt menulis buku ini untuk mengubah cara kelompok pembaca yang beragam—liberal dan konservatif, sekuler dan religius—berpikir tentang moralitas, politik, dan agama. 

Dia ingin mengubah pemikiran mereka, yaitu budaya mereka. Mencoba memahami dengan jernih mengapa kita mudah sekali terpecah-terpecah menjadi kelompok-kelompok yang bermusuhan, masing-masing dengan rasa benar sendiri-sendiri.

Politik praktis dewasa ini semakin mudah mengkondisikan manusia terpolarisasi tanpa alasan yang bisa dipahami dengan baik. Kata Haidt, dunia politik bukan hanya tentang memanipulasi orang yang tidak setuju dengan Anda. Ini tentang belajar dari mereka. 

Partai politik, sebagai pilar dalam demokrasi, adalah kelompok kepentingan yang harus memuaskan banyak konstituen dan donatur, sehingga tidak akan pernah mewakili suatu ideologi dengan sempurna (hlm. 401).

Orang pada dasarnya intuitif, bukan rasional. Kita bisa memiliki banyak intuisi yang bangkit secara bersamaan, dan masing-masing mengolah jenis informasi yang berbeda satu sama lain.

Jika Anda ingin membujuk orang lain, Anda harus menarik hal sentimen mereka. Memancing intuisi-intuisi baru mereka, bukan alasan-alasan baru. Haidt meminjam nasehat Dale Carnegie: hindari konfrontasi langsung. Sebagai gantinya memulai dengan bersahabat, tersenyum, menjadi pendengar yang baik, dan jangan pernah mengatakan "kamu salah”.

Leadership menjadi faktor sangat penting. Kepemimpinan transaksional memancing kepentingan pribadi pengikut; namun kepemimpinan transformational mengubah cara pengikut melihat diri sendiri. Caranya: teladan, komitmen, “kita” bukan “saya”, memperkuat tujuan kolektif, kesamaan nilai, serta kepentingan bersama (hlm. 331). 

Seperti tesis ahli ilmu politik Robert Putnam bahwa modal sosial yang dibangkitkan oleh banyak kelompok menjadikan kita lebih cerdas, sehat, aman, kaya, dan lebih mampu mengelola demokrasi yang lebih adil dan stabil.

The Righteous Mind menemukan kita pada makna kehidupan, merasakan welas kasih, menggali kebijaksanaan dan menjadikannya layak dibaca.

Salam hangat.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja