Suatu Pagi di Kopi Klotok

Menumpang kereta api Sancaka dari Stasiun Gubeng Surabaya, Vera dan saya tiba di Stasiun Tugu pada Rabu, 23 Maret 202 siang pukul 13.04 WIB. Kami dijemput oleh Bangkit, kemudian diantar makan siang di Warung Bu Ageng di Jalan Tirtodipuran, Mantrijeron, Prawirotaman, yang sering disebut kawasan "Kampung Turis".

Hanya satu malam di Jogja, kami menginap di Villa D'House of Gembala, yang berada di Jalan Sawah Joglo, Sinduharjo, Ngaklik, Sleman. 

Karena hanya satu malam, sedikit tempat yang bisa kami datangi. Setelah malamnya puas mengobati rindu makan di Gudeg Permata Bu Narti, di Kawasan Gunungketur, Pakualaman, maka agenda pagi pada Kamis 24 Maret 2022 adalah ngopi dan sarapan di Kopi Klotok.

Kopi Klotok mulai dibuka pada akhir 2015, dengan cepat warung ini booming setelah banyak fotonya diunggah di media sosial Instagram dan WhatsApp. Seolah menjadi destinasi wajib pendatang, tak lengkap rasanya ke Jogja tanpa mampir ke Klotok.

Kopi Klotok terletak di Jalan Kaliurang KM 16, Pakem, Sleman. Tidak jauh dari Villa Gembala. Kami berangkat pukul 7.30, lumayan awal, dan ketika kami sampai, lahan parkiran sudah dipadati kendaraan, bahkan sudah ada dua bus yang mengantar rombongan. 

Area parkiran di bagian selatan warung yang dipisahkan ruas jalan, sehingga perlu berjalan kaki puluhan meter untuk ke warung yang memiliki halaman luas dan rindang ditumbuhi banyak tanaman. Konon jika hari libur antrean pengunjung bisa sampai seratus meter. 

Suasana asri perkampungan langsung terasa saat kita memasuki halaman warung yang sudah ramai pelanggan. Pelayanan puluhan karyawan warung juga sangat ramah dan hangat.

Bangunan rumah Joglo tradisional menjadi sentral, karena di dalam terdapat dapur luas, meja prasmanan, kasir, dan beberapa set kursi kayu antik. Di bagian dalam rumah juga dipajang barang-barang klasik, seperti telepon kabel, lampu minyak, sepeda onthel, radio kuno, colokan lawas, dan sebagainya.

Sebelum makan, Vera dan saya sempatkan menengok aktifitas dapur yang menyatu dengan satu meja prasmanan tempat pelanggan mengambil menu. Di dapur luas itu terdapat beberapa penggorengan ukuran jumbo, ratusan kepok pisang tergantung, dan puluhan kaleng kerupuk. Walaupun dapur tradisional, mereka menggunakan gas tabung 12 kilo gram atau non subsidi. 

Kami juga membaca ragam testimoni pejabat dan selebriti yang ditulis dan ditandatangani di kertas berbingkai yang dipajang di dinding kayu berwarna hijau dan coklat. Mulai Presiden RI ke-5 Megawati Soekarno Putri, Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres Ma'ruf Amin, Mahfud MD, Ahmad Dani, Najwa Shihab, Cak Lontong, dan yang lain.

Setelah berkeliling, kami mulai mengambil makanan yang tersedia di meja rendah. Ragam menunya masakan tradisional. Terhidang nasi (sego megono), bubur, telur dadar krispi, tempe garit, tahu bacem, sop, sayur asem, lodeh kluwih, lodeh tempe, lodeh tahu, lodeh terong, lode kates, sambal dadak, dan sebagainya. 

Setelah nikmat menyantap paket nasi sayur seharga 11.500 rupiah, saya juga memesan kopi khas klotok yang dibanderol 5.000 rupiah per gelas, sedangkan Vera memesan teh tubruk gula jawa seharga 6.500 rupiah, dan pisang goreng seporsi berisi dua potong 3.500 rupiah. Semua disajikan panas-panas. Rasanya gurih dan enak sekali.




Beruntung kami masih mendapatkan kursi di teras belakang. Jika tak kebagian, pelanggan dapat menggelar tikar di halaman yang sudah dibeton. Ini spot favorit, karena sambil makan, kita bisa menyaksikan hamparan sawah, perkebunan jagung, pohon-pohon kelapa, pohon-pohon pisang dan puncak Gunung Merapi yang berkubah lava. Suasananya seperti sedang piknik.

Pagi-pagi nongkrong di Kaliurang pinggir sawah, sambil menikmati secangkir kopi pahit dan masakan rumahan yang lezat hasil resep leluhur, benar-benar buat betah. Hati jadi senang.

Satu pengalaman kuliner dengan sensasi tiada duanya.













Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja