Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Saya ingat terakhir kali naik kereta api pada 2007, waktu itu saya dari Jogja hendak mudik ke Makassar. Berangkat dari Stasiun Tugu menuju Stasiun Gubeng Surabaya untuk selanjutnya mengejar penerbangan ke Makassar di Bandara Juanda.

Pada 2007 dan jauh sebelumnya, transportasi kereta api luar biasa buruk. Saya tidak sendirian, siapa pun yang pernah punya pengalaman naik kereta api pada masa lalu akan merasa teraniaya dan tersiksa. 

Hampir semua stasiun kereta api kondisinya kumuh, semrawut, tidak aman, dan penuh asap rokok. Di gerbong kereta berjubel penumpang liar hasil menyuap petugas, berebut kursi dengan pembeli tiket resmi; ratusan penumpang yang tidak mendapatkan kursi, tidur di mana saja beralaskan koran. Belum lagi beberapa penumpang membawa hewan piaraan menambah kejorokan dari toilet kereta. Pengamen dan pedagang asongan juga tak berhenti masuk tiap pemberhentian, sangat mengganggu.

Penumpang tidak diperlakukan secara layak dan manusiawi. Gerbong layaknya tempat uji ketabahan. Dari Jakarta ke Jogja, sebagai contoh pengalaman saya, harus ditempuh 12 jam dengan penuh penderitaan. Pokoknya tersiksa selama perjalanan, kita ingin cepat-cepat sampai di stasiun tujuan yang sudah pasti tidak on time, baik keberangkatan dan kedatangan. 

"Kereta tiba pukul berapa/ biasanya kereta terlambat/ dua jam cerita lama..."

Demikian penggalan lagu Iwan Fals berjudul Kereta Tiba Pukul Berapa, mengkritik manajemen perkeretaapian Indonesia.
****
Pada 2008 saya kembali menetap di Makassar, kota metropolitan yang tidak punya transportasi kereta api. 

Setelah itu barangkali pada 2010 saya diberitahu teman-teman bahwa tranportasi kereta api sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya. Naik kereta api itu pengalaman menyenangkan, kata mereka, yang baru pertama kali menggunakan si "Ular Besi".

Saya kemudian menelusurinya, ternyata revolusi besar manajemen kereta api berkat tangan dingin sosok Iganasius Jonan, Direktur PT Kereta Api Indonesia (KAI) pada 2009 sampai 2014. Jonan yang sejatinya seorang bankir membawa perubahan nyata. Kini semua stasiun kereta tampak lebih rapih, nyaman, dan membuat betah penumpangnya. Toilet stasiun sangat bersih seperti toilet di mal-mal.

Kereta api kita menjadi modern, dari kelas Ekonomi memakai AC yang sejuk, gerbong yang bersih, jadwal on time, sistem tiket online, menjadikan moda transportasi pilihan dengan tingkat kepastian yang bisa diandalkan.

Tapi karena saya belum pernah mencoba sendiri, saya belum benar-benar mempercainya. Sampai kemudian kesempatan pertama itu datang pada Rabu 23 Maret 2022 silam.

Saya dan Vera, istri, tiba di Surabaya dari Bali lewat perjalanan via travel. Kami berhenti di Stasiun Gubeng pada pukul 7.00, untuk melanjutkan perjalanan ke Jogja, menggunakan Kereta Api Sancaka dengan jadwal keberangkatan pukul 9.00 dan diinfokan tiba pada pukul 13.04! Seakurat itukah? Saya pun penasaran.




Stasiun Gubeng saat itu sedang direnovasi. Seperti diketahui selain Stasiun Gambir, Gubeng dan Tugu adalah stasiun besar dan utama di Pulau Jawa. Senang berjalan-jalan di Gubeng, gedung heritage yang dibangun pada masa kolonial dengan fasiltas dan pelayanan modern.

Setelah sarapan soto Madura, kami pun berangkat tepat waktu. Kesan pertama saya masuk ke gerbong luar biasa karena sangat bersih, sejuk, dan teratur. Seluruh penumpang duduk sesuai dengan nomor kursi yang tercantum di tiket online. Tiket kelas bisnis yang kami beli seharga 210 ribu rupiah. Tidak ada lagi "penumpang tembak" sebagaimana dulu. 



Penumpang menikmati perjalanan dengan asyik. Vera dan saya banyak mengobrol sambil menyusuri lintas selatan Pulau Jawa (Tengah dan Timur) dengan melihat dari jendela pemukiman penduduk, persawahan, perkebunan, cerobong pabrik, dan beberapa jembatan

Kami tidak lagi terganggu puluhan pedagang dan pengamen asongan di tiap stasiun pemberhentian: Mojekerto, Jombang, Nganjuk, Madiun, Solo Balapan, Klaten, dan stasiun akhir Jogja.



Ada perasaan takjub seolah tidak percaya saat kami tiba di Stasiun Tugu, benar-benar sama dengan waktu yang dijanjikan, pukul 13.04, sesuai yang saya pastikan di jam ukuran besar yang dipasang di kanopi peron. On time setepat-tepatnya. Fantastis.

Kedatangan penumpang harus melewati pintu selatan keluar ke Jalan Pasar Kembang, tapi kami mohon izin kepada petugas diberikan kesempatan untuk berfoto di gerbang kedatangan yang berada di pintu timur, yang sudah menjadi ikon Jogja.

Tiba di Stadion Tugu yang legendaris terasa magis, selalu ingin kembali di sini, banyak sekali memori tiba-tiba muncul.
 

Senang sekali bisa merasakan dan membuktikan revolusi manajemen kereta api yang dipimpin Jonan. Jonan sukses "menyulap" kondisi stasiun dan kereta api menjadi moda yang tidak hanya layak, tapi juga sangat nyaman dinaiki penumpang. 

Terima kasih kepada orang-orang yang berkerja keras di KAI menyelenggarakan jasa kereta api dengan sangat baik.

Yuk, naik kereta api.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja