Kilas Balik Piala Dunia 2018, Bayang-bayang Tuan Putin, Kisah Kroasia, dan Perancis di Puncak Dunia
Piala Dunia Russia 2018 dimulai saat malam takbir hari raya Idul Fitri 1439 Hijriah. Saya masih bisa mengingat pergi ke lapangan menjalankan sembayang Ied, tak lama setelah Presiden Russia Vladimir Putin dan Persiden FIFA Giannini Infantino membuka turnamen dengan kemenangan besar tuan rumah 5-0 melawan Arab Saudi.
Bagi saya Piala Dunia 2018 adalah turnamen paling kental muatan politisnya. Mengingat Russia 2018 maka tak bisa melepaskan dari sosok tuan Putin, orang paling kuat di negara "Beruang Merah" dalam beberapa dekade.
Russia dipilih menjadi tuan rumah (2018) dan Qatar (2022) dalam satu paket pada waktu bersamaan-hal belum pernah dilakukan FIFA- pada 2 Desember 2010 di Zurich Swiss.
Secara mengejutkan Russia menyisihkan Inggris, dan Qatar mengalahkan Amerika Serikat, di mana Russia dan Amerika Serikat lebih difavoritkan berdasarkan semua indakator syarat menjadi host.
Pada akhirnya voting itu terbukti skandal korupsi pejabat FIFA. Dua pertiga anggota Komite Eksekutif yang memberikan suaranya terbukti menerima suap dan dihukum FBI, termasuk aib yang menjatuhkan kekuasaan Presiden Sepp Blatter, pada 2015 setelah 18 tahun sebagai "Godfather" sepak bola.
Putin banyak dituduh memanfaatkan Piala Dunia 2018 sebagai alat untuk kepentingan politisnya. Misi Putin mirip dengan apa yang dilakukan diktator fasis Jorge Rafael Videla pada Piala Dunia Argentina 1978.
Setelah menjadi tuan rumah Piala Dunia, peran dan pengaruh Russia makin kuat, sehingga Putin tak gentar dengan ancaman kelompok negara Barat saat memutuskan perang menyerang Ukraina, yang masih berlangsung hingga kini.
Kembali pada pertarungan di lapangan sepak bola. Pencapaian Rusia sendiri bagus, maju hingga babak delapan besar. Sbornaya sukses mengalahkan Spanyol di babak 16 besar melalui adu penalti, sebelum dihentikan Kroasia, juga lewat adu penalti.
Piala Dunia 2018 juga makin menegaskan "kutukan" juara bertahan. Jerman yang masih diperkuat mayoritas skuad juara pada Brasil 2014, ternyata menjadi juru kunci grup di bawah Swedia, Meksiko, dan Korea Selatan. Jerman mengikuti jejak Perancis (2002), Italia (2010), Spanyol (2014).
Kita masih ingat bagaimana Panser dikalahkan Meksiko 0-1, dan paling memalukan digasak Korea Selatan yang ditukangi Shin Tae-yong, 0-2. Salah satu kemenangan terbesar dalam sejarah sepak bola Korea Selatan.
Russia 2018 juga membuktikan hegemoni Eropa. Delapan besar dikuasasi enam negara dari konfederasi UEFA. Hanya Uruguay dan Brasil negara luar Eropa yang menembus perempat final. Itu pun harus terhenti karena Uruguay dikalahkan Perancis dan Brasil dipulangkan oleh Belgia.
Praktis All Euro semifinals di Russia 2018, Perancis versus Belgia, dan Inggris melawan Kroasia, yang menciptakan final Perancis berhadapan dengan Kroasia pada 15 Juli 2018 di Stadion Luzhniki, Moscow.
Kroasia adalah negara kecil tapi prestasi besar. Jumlah penduduknya tidak sampai 5 juta jiwa, negara kecil di semananjung Balkan ini merupakan pecahan dari Yugoslavia akibat perang saudara yang lama berkecamuk di sana.
Mereka menjadi anggota FIFA pada 1992. Namun 26 tahun kemudian mereka sudah berlaga di final Piala Dunia adalah suatu yang sulit dipercaya.
Perjalanan mereka di Russia jelas memperlihatkan semangat nasionalisme yang rela berkorban demi harkat martabat negara yang mengalami banyak masalah. Mereka tampil sebagai tim dengan materi mumpuni dan pantang menyerah.
Memadukan teknik apik dan fisik prima, penggawa Vatreni tampil fantastis dengan tiga streak kemenangan di grup, termasuk memporak-porandakan pertahanan Argentina.
Kisah heroik dengan militansi dan semangat nasionalisme terlihat jelas di fase gugur. Melawan Denmark di perdelapan final, Rusia di perempat final, dan Inggris di semi final, mereka selalu tertinggal dulu. Namun mampu bangkit dan kemudian menang.
Harmoni Perancis
Perancis menunjukkan kapasitasnya sebagai favorit kuat sejak fase gugur dengan penampilan dinamis, solid, impresif, dan stabil, dengan semangat membara.
Les Bleus maju ke final dengan cara yang paling efektif sekaligus mematikan. Tak perlu menjalani satu laga pun dengan perpanjangan waktu dan adu penalti. Bukan berarti diperoleh dengan kerja singkat dan mudah.
Pelatih Didier Deschamps adalah motivator ulung, tegas, dan jenius. Otak di balik revolusi sepak bola Perancis. Ia mengarahkan timnya pada efektivitas. Semua dia lakukan dengan perhitungan cermat lewat visi sederhana, taktis, terukur, dan efektif.
Deschamps menangani Perancis dengan membangun harmoni tim yang bertumpu pada pemain muda berbakat. Ia menyukai permainan kolektif. Baginya, kepentingan tim jauh di atas individu. Deschamps sangat kuat memegang prinsip kedisiplinan demi kesatuan tim.
Sektor pertahanan kuartet Samuel Umtiti, Raphael Varane, Lukas Hernandez, dan Benjamin Pavard. Di depan barisan bek, Perancis punya lini tengah yang solid. Ngolo Kante, Blaise Matuidi, dan Paul Pogba. Pada lini depan tiga predator Oliver Giroud, Kylian Mbappe, dan Antoine Griezmann juga sangat tajam dan menjadi mesin gol produktif.
Perancis menang 4-2 atas Kroasia, hasil final Piala Dunia paling produktif menciptakan gol. Pencapaian Les Bleus menyamai raihan dua bintang Argentina dan Uruguay di jersei tim nasional. Deschamps pun akan mensejajarkan diri dengan nama besar Mario Zagallo (Brasil) dan Franz Benckenbauer (Jerman), mengangat trofi sebagai pemain (kapten) dan sebagai pelatih.
Bisakah Perancis asuhan Deschamps mengukir sejarah baru di Qatar 2022?
Komentar
Posting Komentar