Piala Dunia Perancis 1998, Sukses Ganda Perancis, Misteri Ronaldo dan Perseteruan Beckham vs Simeone

(https://bola.kompas.com/read/2018/03/27/10270038/kartu-merah-pada-piala-dunia-1998)

Setelah menikmati Piala Dunia 1994, sebagai penggemar sepak bola anyar yang pengetahuan bolanya cetek, maka France 1998 adalah Piala Dunia kedua bagi saya dengan ragam sudut pandang baru, juga dengan emosi berbeda daripada empat tahun sebelumnya.

Selepas Piala Dunia AS 1994, saya makin menggemari olahraga ini. Hampir tak pernah saya ingin ketinggalan mengikuti perkembangan persaingan sepak bola dunia. Kompetisi elite Eropa, terutama Serie-A, Liga Inggris, dan Liga Champions menjadi hiburan setiap pekan. 

Pertengahan era 1990-an itu, saya mulai familiar dengan klub-klub besar Eropa. Sebut saja Ajax dari Belanda yang fantastis memenangkan Liga Champions 1995;  Inter, AC Milan, dan Juventus wakil Italia; Real Madrid dan Barcelona dari  Spanyol; dan Manchester United (MU) yang mulai mendominasi Liga Inggris di bawah rezim Alex Ferguson.

Setiap Piala Dunia digelar lagi setelah empat tahun, maka ada pergeseran fase kehidupan pribadi kita masing-masing. 

Saya mengingat dan merasakan hingga menjelang Piala Dunia sekarang. Setelah bertranformasi dari remaja ABG empat tahun sebelumnya di Makassar, maka saya mengikuti France 1998 pada waktu duduk di bangku SMA, sebagai anak kos di Yogyakarta. Nonton bareng pertandingan bersama teman-teman baru di kota pendidikan merupakan suatu pengalaman tak terlupakan.

Meski tak ada kaitannya, Piala Dunia '98 dihelat tidak lama setelah lahir reformasi Indonesia, yang melengserkan kekuasaan otoritarian Soeharto yang bisa bertahan 32 tahun. Banyak menilai turnamen tersebut sedikit-banyak menghibur dan meredakan ketegangan politik dalam negeri ketika itu.

Kembali ke sepak bola. Piala Dunia Perancis 1998 juga dimulai dengan format baru, FIFA menambah 8 slot peserta, menjadi 32 negara yang dibagi dalam 8 grup, sehingga tidak ada lagi peringkat ketiga grup yang bisa melaju ke babak 16 besar. Format yang bertahan hingga sekarang. 

Lantas momen-momen apa saja yang paling melekat pada Piala Dunia edisi-16 ini ? Tentu sangat relatif, pecinta sepak bola memiliki memori masing-masing. Saya sendiri punya daftarnya.

Kesatu, tentu saja, keberhasilan Perancis memanfaatkan banyak keuntungan sebagai tuan rumah sekaligus sebagai juara untuk pertama kali. Hingga saat ini Perancis tim tuan rumah terakhir yang juga sukses menjadi juara.

Di final tim "Ayam Jantan" asuhan Aime Jaqueet, dengan bintang Zinedine Zidane, mengempaskan juara bertahan, Brasil, 3-0, tanpa perlawanan yang berarti. Antiklimas Brasil di final karena bintang utamanya, Ronaldo Nazario, Il Fenomeno, terkena penyakit misterius sebelum bertanding, juga belum terungkap hingga sekarang.

Saya masih ingat, sebelum turnamen, final ideal ini merupakan skenario yang sudah dirancang panitia Perancis yang diketuai Michel Platini. Pokoknya Les Bleus tak boleh bertemu Jogo Bonito sebelum final. 

Sempat muncul tudingan miring atas mulusnya skema tersebut. Namun Platini sendiri-lah yang akhirnya mengakui 'konspirasi' ini jauh hari setelahnya.

Kedua, momen perseteruan David Beckham (Inggris) versus Diego Simeone (Argentina), dalam pertandingan Argentina melawan Inggris di babak 16 besar. Merupakan salah satu pertandingan France '98 paling seru, paling ketat, paling panas, dan paling dibicarakan hingga kini. 

Rivalitas kedua negara memang selalu dikaitkan dengan isu politik, seperti perang. Maradona pernah mengakuinya ketika memenangkan "pertempuran" pada Piala Dunia 1986 lewat pertandingan yang sangat historis.

Tekanan tinggi

Beckham ketika itu masih muda, 23 tahun. Mulai menapak sukses karirnya di Manchester United sebagai pesepakbola sekaligus selebriti papan atas di Inggris. Sedangkan Simeone adalah pemain tengah andalan tim Tango, yang sepertinya memang bertugas mengacaukan skema permainan lawan.

Insiden itu terjadi pada awal babak kedua ketika skor sama kuat 2-2. Berawal dari kedua pemain berebut bola yang membuat Beckham terjatuh dengan posisi tengkurap. Tingginya tekanan membuat Beckham tak mampu memikul beban, dia mengintip Simeone berjalan di belakangnya, mungkin spontan, dia mengayunkan kakinya menendang Simeone. 

Ayunan kaki Beckham sebenarnya pelan, namun Simeone mendramatisir dengan terjatuh dan mengerang kesakitan di depan wasit Kim Nielsen, sambil menunjuk Beckham yang belum berdiri. Beberapa pemain Argentina ikut memprovokasi. Akhirnya Nielsen ikutan lebay, mengganjar Becks kartu merah, yang meninggalkan lapangan seperti tak percaya dengan apa yang baru saja dia alami.

Dengan 10 pemain, Inggris yang sempat di atas angin melempem, dan akhirnya kalah melalui adu pinalti. Besoknya publik dan media Inggris mengecam tindakan konyol Beckham sebagai biang kekalahan. "10 singa pemberani dan satu anak bodoh", begitu ditulis dalam satu media setempat.

Karir Becks diambang kehancuran, bahkan nyawanya terancam, namun dalam masa sulit, Ferguson tampil sebagai pelindung Beckham. Hampir setahun setelah insiden Saint-Etienne, United meraih tiga gelar spektakuler pada bulan Mei 1999.

Becks menjadi salah satu pemain paling berkontribusi penting akan treble tersebut. Dalam perjalanan meraih juara Liga Champions 1999, Beckham dan Simone sempat bentrok kembali di perempat final ketika United bertemu Inter Milan, klub Simeone ketika itu.

Seiring perjalanan waktu, kedua pemain sudah melupakan peristiwa dan saling memaafkan. Barangkali jika tak ada insiden perseteruan di Stade Geoffroy Guichard Saint-Etienne 98 ini, kedua pemain tak akan sesukses saat ini. Sepak bola membuat keduanya memiliki mental yang sangat tangguh.

Salam sepak bola.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja