Dari Zaman ke Zaman, Buku Selalu Istimewa


Revolusi peradaban pertama dan terbesar dalam sejarah manusia adalah terbentuknya bahasa. Revolusi kedua terbesar adalah diciptakannya aksara. Terciptanya mesin cetak pada abad ke-15 merupakan revolusi susulan, demikan mengutip artikel Ariel Heryanto berjudul Huruf demi Huruf, dalam buku bunga rampai berjudul Bukuku Kakiku, terbitan Gramedia pada 2004.

Buku adalah jendela dunia. Setiap kali membukanya, tambahlah pengetahuan kita. Buku juga guru, yang dengan suka rela kita mengikuti arahannya, ketika dengan perasaan gembira, mata membelalak, kita kagum akan kedalaman hikmatnya.

Membaca buku memberikan pengaruh kuat terhadap perkembangan minat seseorang, berpengaruh atas keputusan seseorang untuk selanjutnya memilih karir, bahkan arah jalan hidup.

Bukuku Kakiku total merangkum 22 artikel dari sosok intelektual atau cendekiawan Indonesia dari berbagai bidang ilmu kehidupan, akademisi, rohaniwan, budayawan, peneliti, ekonom, jurnalis, hakim, musisi, sampai atlet, terkait pengalaman mereka terhadap kegiatan membaca buku-buku yang telah mengakar dan membudaya.

Kisah-kisah mereka yang sebagian lahir sebelum kemerdekaan sungguh menarik, inspiratif, dan memukau menguraikan bagaimana mula dan akhirnya mencintai buku-buku.

Mari kita renungkan prinsip Daoed Joesoef, bahwa membaca dan menulis bukan lagi merupakan suatu hobi tapi sudah menjadi sebuah kebutuhan, sama dan sederajat dengan kebutuhan akan makan dan minum. Kalau kegiatan membaca itu tidak ada gunanya, mustahil Tuhan menyuruh Nabi menyerukan Iqra!

Frans Magnis Suseno, dalam artikelnya yang metafora, Bukuku Surgaku, menulis bawa membaca tidak hanya memperluas cakrawala, melainkan juga merupakan pelepasan emosional dan membantu mengatasi kesulitan-kesulitan. Membaca membuat melihat dunia, berfantasi, bersemangat untuk melakukan sesuatu. Ia mengaku sejak lama frustrasi terbesarnya adalah tidak lagi mempunyai cukup waktu untuk membaca, karena begitu banyak terikat pada kegiatan-kegiatan administratif.

Azyumardi Azra juga membagikan pengalaman bagaimana produktif menulis dan menjadi narasumber dengan lugas, pendekatan historis, berpijak pada data, yang kemudian dilandasi atau diperkaya kerangka (framework) dan teori-teori ilmu sosial dan humaniora, bukan bersifat spekulatif dan reflektif semata-mata. Semuanya karena membaca banyak buku dengan tepat.

Benjamin Mangkoedilaga, hakim yang disegani bercerita bahwa pengetahuan dan ilmu yang kita peroleh, terutama melalui pendidikan formal, selalu terasa tidak memadai. Kebiasaan membaca membawa kepada luasnya cakrawala pengetahuan. Benjamin yang dikenal tanpa kompromi gemar membaca buku yang memuat bermacam pikiran yang 'berseberangan' dengan penguasa, yang memuat pikiran-pikiran the other side atau the oppsite dari pemerintah; membawa pada pemikiran yang selalu seimbang, cover both side, suatu jalan pikir yang harus dimiliki oleh seorang hakim atau dosen yang profesional.

Jurnalis inspirator Rosihan Anwar meyakini dengan membaca buku berarti mendidik diri sendiri. Rosihan memang tidak menyandang gelar kesarjanaan, sehingga dengan buku ia menjadi otodidak sepanjang hayat dengan segala keterbatasan. 

Kita juga terpesona dengan pengalaman ibunda Melanie Budianta mati-matian menyelamatkan lemari buku saat terjadi kebakaran di rumahnya, menunjukkan betapa berharganya buku-buku. Nilai sebuah buku untuk memperkaya hidup dan peradaban, tulis Melanie Budianta. 

Sedangkan Minda Perangin-Angin, sedih melihat buku-buku sekarang yang tercetak cantik dengan kertas yang luks tetapi isinya tidak sesuai dengan pengorbanan beberapa pohon yang telah dimusnahkan untuk itu.

Syamsul Anwar Harahap petinju dan komentator kawakan Indonesia berkisah mengharukan. Ia yang pada saat berumur dua tahun menderita lumpuh pada tangan kanan, perlahan bisa bangkit dan mengukir prestasi gemilang karena terinspirasi dari bacaan ibunya di satu majalah tentang ‘keajaiban’ atlet pelari Wilma Rudolf yang menderita kaki kanan cacat polio, sukses merebut tiga medali emas di Olimpiade Roma 1960. Dari artikel majalah ibunya, ia kemudian sampai saat ini kecanduan buku-buku. Bagi Syamsul ilmu tidak ada batasnya. Begitu juga kehidupan. 

Simak juga cara fisikawan andal Yohanes Surya yang menganggap Olimpiade Fisika sebagai sebuah peperangan sehingga ia terinpirasi membaca berbagai buku klasik karya Sun Tzu yang menulis banyak tentang strategi perang. 

Sebagaimana ditulis Fuad Hasan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahwa buku merupakan pengiring perjalanan kehidupan. Budaya baca harus ditunjang oleh tersedianya cukup waktu untuk kegiatan membaca. Budaya baca hanya bersemi manakala kita secara sadar mengisi waktu (to fill time) dengan membaca, bukan membaca sekadar untuk menghabiskan waktu (to kill time).

Demikanlah, setiap orang yang hidupnya terkait dengan buku, pasti punya cerita bagaimana buku itu datang dalam hidupnya. Buku merupakan salah satu sumber terpenting dalam pembentukan pandangan dunia, cara berpikir, karakter, dan sikap laku sehari-hari. 
 
Dari zaman ke zaman, buku akan selalu istimewa. 

Salam literasi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja