Bola Klasik: Belanda Vs Spanyol di Piala Dunia 2014

Saya masih ingat, sebelum pertandingan, surat kabar Kompas pada Jumat, 13 Juni 2014, menulis pada headline: Misi Balas Dendam “Si Orange”.

Semua penggemar bola paham makna judul tersebut. Apalagi kalau bukan tentang kekalahan menyakitkan Belanda atas Spanyol di final Piala Dunia 2010, yang ditentukan pada menit ke-116 oleh Andreas Iniesta. Spanyol juara dunia baru, di final perdana, sedangkan Belanda seperti dikutuk tak pernah bisa memenangkan trofi berlapis emas itu, meski telah tiga kali sampai ke partai puncak.

Jujur saja, saya tak sepenuhnya setuju dengan judul yang dipilih redaksi koran yang menjadi sumber saya dalam mengakses piala dunia, di tengah banjir informasi bola. 

Bagi saya, balas dendam Belanda bisa tunai, jika berhasil menjadi juara dunia, lebih sempurna jika mengalahkan Spanyol di final. Asumsi saya, jika pun Belanda menang, maka itu belum memberikan apa-apa kecuali tiga poin pertama, bahkan belum menggaransi lolos dari penyisihan grup, apalagi menjadi juara. 

Namun menyaksikan aksi luar biasa anak asuh pelatih Louis Van Gaal, menghancurkan Spanyol, dengan skor sangat telak 5-1, mengikis penilaian saya terhadap kadar kualitas balas dendam Orange. Tajuk Kompas seperti menemukan jawaban.

****

Dua negara kuat sepak bola dengan dua gaya sepak bola aktraktif kembali beradu di Stadion Arena Fonte Nova, Salvador. 

Tiki-taka, prinsip yang diciptakan Louis Aragones, dan disempurnakan Pep Guardiola, adalah gaya permainan Spanyol, yang kurang lebih menekankan pada umpan-umpan pendek, gerakan terus menerus, pokoknya penguasaan bola menjadi hal utama. 

Sedangkan Belanda dari dulu sudah menyatu dengan taktik total football, suatu cara bermain super agresif, seperti tak mengenal pemain bertahan. Idiomnya pertahanan terbaik adalah menyerang, begitu kira-kira.

Statistik yang dirilis FIFA, ajaran tiki-taka memang tak salah, Spanyol lebih dominan pada penguasaan bola dengan 58 persen. Namun semua tahu permainan Belanda semalam nyaris sempurna.

Pertandingan dipimpin Nicola Rizzoli dari Italia ini di babak pertama berjalan dengan terbuka, tempo lumayan tinggi, dan sangat berimbang di mana kedua tim saling balas mengancam gawang lawan. Gol perdana terjadi pada pertengahan babak pertama ketika bek Stefan de Vrij melanggar Diego Costa. Xabi Alonso yang menjadi algojo, sukses, dan nampaknya Spanyol di atas angin.

Lewat rangkaian serangkaian pelauang, Belanda baru dapat membalas sebelum jeda. Striker utama Robin van Versie menunjukkan kelasnya lewat gol yang sangat cantik. RvP berlari ke jantung pertahanan Spanyol mendahului Sergio Ramos untuk menyambut umpan panjang diagonal Daley Blind, sambil menjatuhkan badan, bola berhasil disundul dari jarak 15 meter yang melewati jangkauan Iker Cassilas. 1-1, dan kemudian jeda.

Saya kemudian penasaran apa yang dilakukan Menir Van Gaal untuk membakar motivasi pemainnya di ruang ganti. Babak kedua mutlak milik RvP dkk. Mereka tampil percaya diri, tanpa kesalahan, determinan tinggi, dan sangat menghibur. Empat gol mereka ciptakan tanpa balas.

Diawali gol berkelas Arjen Robben, yang  mengontrol bola umpan lambung Blind dengan kaki kanan yang mengelabui Gerard Pique, kemudian menghantamkan dengan keras kaki kirinya menggetarkan jala Cassilas yang tak kuasa. Aksi Robben mengingatkan gol legendaris Dennis Bergkamp. Berusaha mengejar, Spanyol kebobolan lagi, berawal free-kick Weshley Sneijder ke tiang jauh yang diselesaikan De Vrij.

Belum cukup, RvP menghukum kesalahan Cassilas yang salah mengontrol umpan-balik Ramos, bola direbut dan dengan mudah diceploskan ke gawang yang kosong. Kemenangan akhirnya disempurnakan oleh Robben di menit 80, meninggalkan Ramos dan kemudian mem-bully Cassilas untuk menentukan skor 5-1.

Satu blunder dan rapuhnya Cassilas ini mungkin tak akan menghapuskan nama besarnya sebagai kiper legendaris yang bergelimang trofi, tapi sudah saatnya dia mundur merelakan posisinya yang telah diemban selama 4 kali Piala Dunia, persis apa yang dilakukan pendahulunya Andoni Zubizaretta, setelah melakukan blunder di pertandingan pembuka Spanyol di Piala Dunia Perancis 1998.

La Furia Roja mungkin masih bisa lolos ke babak selanjutnya, seperti empat tahun lalu di Afsel, bahkan melaju hingga juara. Namun sungguh keterlaluan status juara Eropa sekaligus juara bertahan, dapat mempertahankan gelarnya ketika sudah dipermalukan 1-5. Sesungguhya inilah tumbangnya dominasi Xavi cs selama 6 tahun masa bulan madu.    

Dan kita semua publik sepak bola, sudah tak sabar menanti pertandingan Belanda selanjutnya, meski kita juga tahu masih banyak yang meragukan konsistensi hingga dapat menjadi kampiun dari negara yang bernama Koninkrijk der Nederlanden.

Salam sepak bola 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja