Belajar Sepanjang Hayat


Saya menggemari tulisan-tulisan opini Doni Koesoema di surat kabar Kompas tentang dunia pendidikan. 

Maka ketika membaca karya ilmiah Doni berjudul Pendidikan Karakter; Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, kita menjadi lebih paham bagaimana seharusnya membangun dan merawat apa yang kita sering dengung-dengungkan pada banyak kesempatan dan waktu: pendidikan karakter. 

Doni menyusun bukunya menjadi sembilan bab dalam 327 halaman. Ia menjelaskan dengan lengkap mengenai pendidikan karakter, mulai dari filosofi, konsep, para subyek yang berperan membentuk pendidikan karakter, dan bagaimana cara penilaian atau evaluasi pendidikan karakter yang tepat. 

Doni yang menekuni ilmu filsafat membuka bukunya soal bagaimana pendidikan tak bisa dipahami dengan benar jika kita tak menghayati secara filosofis pengalaman dan perilaku manusia. Filsafat membawa manusia pada kehidupan kontemplatif. “Manusia mengukur waktu dan waktu mengukur manusia” tulis Doni mengutip ungkapan asal Milan Italia tersebut.

Manusia adalah penghayat nilai. Melalui nilai-nilai manusia menyesap pengalaman masa lalunya, menghayati kehidupannya masa kini dan menjawab tantangan ke depan bagi tugas penyempurnaan dirinya sebagai makhluk yang hidup bersama dengan orang lain dalam dunia.

Seperti ujaran filusf Sokrates, bahwa pendidikan karakter memiliki jiwa, agar tetap memiliki kualitas dan keutamaan yang menjadi ciri khas hakikinya. Paradigma Sokrates: kenalilah dirimu sendiri. Plato, murid Sokrates juga mengemukakan bahwa pendidikan berfungsi untuk memimpin manusia pada keutamaan. Mereka yang menjalani pendidikan hanya untuk mengejar sukses, rasa hormat, apalagi popularitas dikatakan sebagai sebuah pendidikan yang tingkatannya rendah.

Dengan memahami konsep filosofis, kita pun sadar banyak sekali persoalan pendidikan kita. Banyak sekali hal yang mesti dipersiapkan untuk pembenahan.

Pendidikan karakter kita memiliki persoalan serius terutama berkaitan dengan tata cara penerapan dan kriteria penilaiannya. Doni mengidentifikasi paling tidak ada tiga alasan pendidikan karakter sulit diterapkan di kita: ketidakpahaman konseptual, ketidakjelasan konseptual, tata cara evaluasi (hlm. 123). 

Yang dinilai dari pendidikan karakter adalah perilaku, bukan pemahaman. Jika menjadi guru adalah sebuah panggilan hidup, mereka yang terlibat di dalamnya akan memberikan dan mengabdikan dirinya secara profesional. Oleh karena itu posisi antara guru sebagai panggilan hidup dan profesi tidak perlu ditentangkan.

Pengajaran di kelas merupakan pendidikan karakter yang sangat strategis. Di ruang kelas, guru adalah manajer yang mengendalikan dan mengarahkan proses. Dalam perjumpaan guru dan siswa terdapat proses penanaman nilai secara lebih nyata.

Pedagogi bukanlah aset yang bisa otomatis dimiliki, melainkan sebuah kemungkinan yang terbuka di mana setiap individu merangkai, membangun, dan membentuk karakter individualnya sesuai dengan kemungkinan yang terbuka di hadapannya. 

Pendekatan pendidikan punya banyak cara: idealisme, realisme, naturalisme, sosialisme, dll. Sedangkan metodenya: positivisme, historis, materialis, dialektis, dan sebagainya.

Manusia berusaha menaklukkan keterbatasan dirinya melalui pendidikan. Seperti disampaikan filusf Mounier bahwa manusia tidak hanya memiliki kemampuan adaptif. Bukan sekadar tampil responsif dan reaktif terhadap hidup. Manusia juga memiliki kemampuan untuk mengatasi keterbatasannya dan menjalani berbagai macam kemungkinan yang senantiasa terbuka. 

Sederhananya, belajar seumur hidup.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja