Budaya Mudik Indonesia

Dokumen Pribadi

Adakah kebahagiaan yang melebihi kenikmatan merayakan hari lebaran selain dengan berkumpul bersama keluarga? 

Saat saya menuliskan catatan kecil ini, kita sudah berada pengujung bulan Ramadhan. Suasana lebaran sudah mulai terasa dari aktifitas masyarakat. Senang sekali.

Hari lebaran adalah hari gembira. Pada 1 Syawal Hijriah adalah Idul Fitri yang mempunyai makna kembali ke fitrah. Saatnya merayakan kemenangan perjalanan bulan Ramadhan. 

Dalam kehidupan sehari-hari, orientasi kita adalah outer journey, sehingga kita acap kali lupa berdialog dengan diri kita sendiri. Lebaran adalah momen yang tepat sebagai media kita untuk membatin dan bertanya seberapa jauh kefitrian jiwa kita (inner journey). 

Satu inner journey yang menyertai setiap lebaran adalah mudik. Budaya mudik sebenarnya tidak diatur oleh agama secara normatif. Namun mudik hanya peristiwa dan tradisi budaya yang paralel dengan perististiwa keagamaan, khususnya agama islam dan di Indonesia.

Semacam fenomena antropologis universal, bukankah hampir semua agama dan bangsa di dunia mempunyai event keagamaan. Orang Amerika misalnya kuat dengan tradisi Thanksgiving Day, hari pengucapan syukur yang dilakukan dengan seremoni gathering. Demikian pula orang China, selalu membludak merayakan hari Imlek.

Manusia selain sebagai Homo Ludens (makhluk yang gemar bermain), juga merupakan Homo Festivus (makhluk yang gemar berfestival). Dalam sejarah budaya, festival mengemban tiga misi. 

Kesatu, mengenang budaya dan tradisi lama. Kedua, mengenalkan tradisi itu kepada generasi baru. Ketiga, memperhadapkan tradisi lama pada situasi masa datang berupa penguatan budaya.

Budaya mudik juga merupakan agenda festival religius tersebut. Ada upaya mengenang masa lalu, mengenalkan tradisi tersebut kepada generasi selanjutnya, serta tidak ketinggalan mengembangkan nilai-nilai tradisi agar budaya ini semakin kuat.

Di Indonesia, mudik sangat terkait dengan aspek psikologis, karena ikatan komunitas kita sangat kental primordial kedaerahan dan kesukuan sebagai identitas. Ada dorongan yang begitu besar untuk menyampaikan bakti dan permohonan maaf kepada seluruh keluarga, terutama orang tua.

Siapa pun yang pergi merantau dan sehebat apapun orientasi dunia mereka, ketika datang momen lebaran, akan dihinggapi kerinduan yang kuat untuk pulang ke tempat lahir dan tempat menyimpan memori dari masa tumbuh kembang dari manusia kanak-kanak hingga dewasa. 

Pulang mudik sudah sepantasnya dirayakan karena kita kembali ke akar budaya, ke awal kita memperoleh ruang sosialisasi yang membentuk jati diri kita sebagai manusia yang begitu bergantung dengan kehidupan sosial. 

Setiap Idul Fitri, ada rasa bahagia memuncak saat berkumpul, namun begitu selesai dan kembali ke rutinitas, selalu saja tersimpan persaan hampa, semu, dan, sedih, apakah kita masih diberi kesempatan tahun depan untuk menikmatinya.

Bagi saya pribadi yang lahir, tumbuh, dan menetap di kota, mudik tidak lagi berarti pulang kampung. Saya termasuk urban society yang kurang mempunyai ikatan emosional yang kuat dengan kampung. Tidak seperti ayah dan ibu yang lahir dan tumbuh di kampung yang selalu begitu rindu kampung halamannya untuk bertemu dengan banyak kerabat di sana.

Karena itulah saya meyakini, walaupun kita lahir, tumbuh, dan menetap di metropolitan, kita semua pada dasarnya adalah orang kampung. Karena kita pasti mempunyai keluarga, handai taulan, dan kerabat, yang menetap di kampung-kampung.

Jadi mari kita mudik untuk merayakan libur lebaran, bermaaf-maafan, menyambung dan memperkuat silaturahmi. 

Selamat mudik dan lebaran bersama keluarga.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja