Cerita Membangun Rumah

(dokumen pribadi)

Sejak perkawinan pada 2012, saya dan Vera, istri, tinggal bersama ayah mertua, di satu kompleks perumahan selama tiga tahun. Siti, anak pertama kami, lahir pada 2013 dan tumbuh balita di rumah tersebut.

Dari pengalaman itu, saya sempat berpikir praktis, jika punya uang cukup, ingin membeli satu unit rumah impian siap huni di kompleks perumahan yang lengkap fasilitasnya.

Entah mulai kapan saya berubah sikap, tak lagi berminat punya rumah modelnya seragam di cluster-cluster yang dibangun developer. Ada perasaan tidak sreg tinggal di rumah yang kami anggap bukan rumah pribadi yang mencerminkan identitas dan karakter penghuninya. Saya menyampaikannya kepada Vera, dan ia pun pada intinya berpikir sama. 

Pada tahun 2016, kami membeli dengan cara mengangsur sebidang tanah dengan luas 150 m2 yang di atasnya berdiri rumah tua milik keluarga Vera. Dengan segala kekurangannya, kami mulai tinggali rumah tersebut, bersamaan dengan lahirnya anak kedua, Uswa, pada Januari 2016.

Butuh empat tahun untuk mengumpulkan dana cukup sebelum kami akhirnya memutuskan membangun rumah pribadi di awal tahun 2021. 

Mengutip arsitek Eko Prawoto, membangun rumah pribadi itu sakral, momen yang sangat penting sekali. Seseorang atau pasangan membangun rumah itu sangat jarang, sekali atau dua kali saja dalam rentang hidup. Hal itu merupakan tonggak kuat dari kehidupan seseorang.

Rumah yang kami inginkan yang sesuai dengan kebutuhan. Karena kami hanya berempat, rumah didesain hanya satu lantai, memaksimalkan ukuran tanah. Sejak awal saya dan Vera tidak berpikir untuk rumah bertingkat, meski sempat diprotes anak. Prinsipnya rumah sebagai sebuah kebutuhan.  

Setelah mempelajari referensi dari berbagai sumber, Vera mulai menggambar sketsa penataan dan pembagian ruang. Hasil sketsa tersebut kami bawa ke arsitek, ada dua arsitek yang kami ajak diskusi. 

Saya menyampaikan saran saya, Vera mengusulkan ruang-ruang yang ia inginkan. Kami  menjelaskan kebutuhan-kebutuhan kami sebagai calon penghuninya, dan nilai-nilai yang ingin kami artikulasikan. Dari situlah arsitek mendesain rumah kami. 

Desain bukan mewah, tapi desain itu harus bagus, berfungsi baik, kuat, dan ramah lingkungan. Sekarang, misalnya, orang cenderung membangun rumah yang penting mewah, luas dan megah dengan penggunaan bahan material luxurious. Rumah cenderung dijadikan atribut untuk menampilkan imej, menunjukkan status simbol.

Kami menginginkan rumah sederhana yang nyaman ditinggali dengan cara yang wajar, berkonsep terbuka atau open space, tidak banyak partisi dinding sehingga  membuat rumah lebih lapang atau lega. Tidak menghalangi pandangan hingga ke taman belakang. Selain itu, konsep terbuka lebih sehat karena sirkulasi udara yang lancar.  

(dokumen pribadi)

Penataan ruang pasti mempengaruhi kualitas interaksi penghuni, karena di rumah ada konsep kebersamaan, berbagi peran dan tanggung jawab. Itulah yang menghangatkan rumah, yang membuat setiap orang memenuhi kebutuhan emosi dan merasa memiliki rumahnya.

Desain rumah kami rampung dalam tiga kali review koreksi. Selanjutnya adalah pemilihan tukang yang akan mengeksekusinya. 

Setelah desain dan RAB telah siap, justru kami harus menunggu dua bulan untuk mulai pengerjaan karena tukang yang kami inginkan masih menyelesaikan proyek di rumah teman yang merekomendasikan tukang tersebut. Seraya menunggu, kami terus mematangkan, antisipasi segala hal, dan memantapkan rencana. 

Barulah pada Februari 2021 dimulai dengan pembongkaran rumah tua terlebih dahulu, sebelum membangun baru. Proses membangun rumah selama delapan bulan tersebut merupakan masa-masa seru dan menyenangkan.

Saya terlibat penuh, mengetahui pasti semua bahan bahan yang digunakan mulai membeli batu gunung, pasir, kerikil, besi, batako, hingga berburu keramik, cat dan bahan material lainnya, sehingga pada akhirnya berdiri satu unit rumah yang kami rencanakan. Pengalaman luar biasa yang tak terlupakan sepanjang hidup.

Proses membangun rumah pribadi menciptakan hubungan emosional, bagi saya yang bisa merasakan, rumah tersebut bukan sekadar bangunan fisik. Rumah ini bisa bercerita tentang riwayat yang dibangun, bercerita tentang detail-detail, pemilihan  penggunaan bahan material secara efektif, dan sebagainya.

Di dalam rumah yang telah kami tinggali selama lebih dari satu tahun kami selalu bisa menemukan perasaaan terbaik saat berada bersama keluarga. Rumah ini benar-benar menjadi tempat istirahat bagi jiwa dan raga kami.

Tak ada tempat terbaik untuk pulang selain ke rumah.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja