Menyusuri Perjuangan Haji di Arafah (6)
Wukuf di Arafah adalah prosesi puncak dan ritual terpenting melaksanakan ibadah haji. Haji adalah wukuf di Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah.
Ketika di Arafah selama menanti wukuf, dalam keadaan ihram, hampir tiga juta jemaah haji membaca talbiyah, panjatkan doa-doa, berzikir, membaca Al Quran, mendekatkan diri kepada Allah, dan bermunajat.
Waktu wukuf di Arafah dimulai setelah tergelincirnya matahari atau saat zuhur pada hari Arafah hingga terbit fajar, sekitar 20 jam. Kesempatan ini harus dimanfaatkan, karena di sini dipercaya merupakan tempat mustajab sekaligus pengampunan dosa dan bertafakur untuk merenungi kebesaran serta mengharap pertolongan Allah SWT. Allah SWT ingin kita berdoa di sini dan menjabahnya.
Di atas bukit Arafah terdapat Jabal Rahma, tempat pertemuan pertama Nabi Adam dan Hawa di bumi setelah sekian ratus tahun terpisah sejak diturunkan dari surga. Jabal Rahma sering dinamakan bukit kasih sayang.
Di Arafah juga tempat Allah SWT menguji keimanan Nabi Ibrahim untuk menjalankan perintah menyembelih putranya, Ismail. Serta Arafah sangat dimuliakan karena lokasi Nabi Muhammad SAW menyampaikan dakwah terakhir, bersamaan ketika Rasulullah menunaikan Haji Wada (perpisahan) pada tahun ke-10 Hijriah.
Pada Selasa 15 April 2025 atau 16 Syawal 1446 H, rombongan kami (Bus-81) menyusuri perjuangan jemaah haji ke tiga tempat suci yang sangat dimuliakan Allah, SWT: Arafah, Mina, dan Musdalifah.
Ayah dan ibu, juga ikut ziarah kali ini, setelah sebelumnya absen saat tur ke kota Taif. Ayah dan ibu menapak tilas perjalanan haji mereka pada tahun 1410 H atau pada tahun 1990, ketika terjadi musibah terowongan Mina, 35 tahun silam.
Arafah terletak di pinggiran kota Makkah, sekitar 30 kilometer yang bisa ditempuh 30 menit. Sebelum tiba di Arafah, kami melewati Musdalifah dan Mina.
Mina berarti tanah harapan, terhampar sepanjang 4 sampai 5 kilometer yang diapit bukit-bukit. Di kedua sisi jalan tersebut berdiri puluhan ribu tenda-tenda putih. Saat kami melewati Mina, ada dua terowongan yang dilintasi. Ayah mencoba mengingat di terowongan yang mana tragedi haji paling mematikan itu terjadi.
Sedangkan Musdalifah, berada di tepi jalan raya Mina dan Arafah, yang lebih sempit. Di sini jamaah juga bermalam (mabit), tapi tidak ada tenda. Di Musdalifah tempat jemaaah mengambil batu untuk melempar jumroh.
Prosesinya pada 8 Zulhijjah mengambil tarwiah menuju Mina untuk menginap semalam, kemudian pada 9 Zulhijjah bertolak ke Arafah untuk melaksanakan wukuf, dan setelah wukuf pada 10 Zulhijjah bertolak ke Wadi Muaasir, Musdalifah, menginap (mabit) setidaknya pertengahan malam di atas pukul 12.
Kami datang di Arafah bertepatan dengan persiapan musim haji 1446 H. Kami menyaksikan tenda dan perkemahan maktab yang akan menampung sekitar 3 juta sudah hampir siap, ratusan pekerja berusaha merampungkan sebelum musim haji dimulai. Menurut muttowif Awal, jemaah haji plus ditempatkan di area pinggiran, supaya lebih mudah masuk dan keluar Arafah. Sedangkan jemaah reguler di tempatkan jauh di titik tengah.
Menyusuri rute-rute perjalanan haji di gurun pasir ini membuat saya membayangkan melaksanakan rangkaian ibadah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina sangat berat. Suhu panas di ketiga tempat ini bisa mencapai 40 derajat. Diprediksi suhu akan memuncak pada 8, 9, dan 10 Zulhijjah pada awal Juni nanti.
Tiap tahun banyak jamaah haji jatuh sakit di sini. Saya yang tidak sampai satu jam di Arafah merasakan betul sengatan panas dan dehidrasi. Mencoba banyak minum dan jajan es krim, hasilnya bibir saya pecah berdarah-darah setelah itu.
Kesimpulan saya adalah melaksanakan ibadah haji mesti memiliki ketangguhan fisik, kekuatan mental, dan kesabaran tinggi. Dipersiapkan dan diniatkan sebaik-baiknya.
Setelah datang berdoa ke Arafah, dan di tempat-tempat yang diistimewakan Allah SWT, semoga kami dapat segera diundang Allah SWT melaksanakan haji.
Komentar
Posting Komentar