Persaudaraan dan Ladang Amal di Masjidil Haram (5)

Jika di Makkah sebaiknya tidak perlu bertanya hari apa? Kebanyakan peziarah lupa bahkan tidak memikirkannya sama sekali sejak mereka berada di sini.

Di Makkah terkhusus sekitar Masjidil Haram, peziarah hanya menantikan waktu lima salat fardu. Tiap hari pukul 3:00 sudah terbangun, keluar hotel lalu kita bertemu ratusan ribu jemaah penuh semangat berduyun-duyun berdatangan dari semua arah. Allah SWT meringankan langkah kita menuju Masjidil Haram.

Setiap waktu salat, terutama saat seruan azan berkumandang, semua kegiatan berhenti dulu. Mall Zam-zam, cafe-cafe, toko-toko tutup sejenak, memberikan waktu karyawan untuk salat, tepat waktu dan berjamaah. Supir taksi, pekerja bangunan, pedagang trotoar, atau siapa saja selalu membawa sajadah dan langsung menggelarnya di posisi mana pun. Tertinggal takbiratul ikram, apalagi rakaat, suatu kerugian yang amat besar. Hal luar biasa menyaksikan dan menjadi bagiannya. 

Saya selalu berusaha mencari posisi berbeda setiap salat. Suatu waktu salat subuh di lantai 2 yang dapat melihat bagian atas Kabah. Pernah salat duhur di sisi pintu gedung Al Bait. Pernah juga di bagian barat dan utara Kabah, berdekatan dengan ratusan pekerja konstruksi perluasan Al Haram.

Rutinitas salat lima waktu di Masjidil Haram dengan ritme yang terbangun menciptakan pengalaman spiritual kuat. Di mana momen saya banyak merenung, melakukan refleksi, berusaha mendekatkan diri pada Allah SWT.

Saya merasakan terutama saat mendengar bacaan imam saat salat subuh, magrib, dan isya. Melafalkan surat Al-Fatihah dan ayat Qur'an pada dua rakaat awal. Lantunan merdu dan artikulasi fasih membuat saya berharap bacaan yang panjang. Ingin rasanya mengetahui surah dan ayat-ayat yang dikeraskan imam, agar saya bisa terjemahkan, dan menghayati maknanya.

Walaupun saya tidak paham, surah yang dibacakan berbeda dengan ayat-ayat Quran yang sering dibaca imam masjid di Indonesia, pada umumnya surah-surah yang ada di jus 3o Al Qur'an. Satu kali ada kejutan, di satu subuh imam memilih surah Adh-Dhuha, yang juga saya hapal dan sering saya baca ketika menjadi imam di rumah.

Ladang Amal

Selain salat, aktivitas di Masjidil Haram beragam. Umroh, tawaf, dan sa’i, tak pernah putus dilaksanakan oleh peziarah.

Kegiatan di Masjidil Haram adalah ladang ibadah mengumpulkan pahala berlipat. Tak ada kotak amal di Al Haram, jadi untuk bersedekah ada banyak cara dilakukan para peziarah. Paling disarankan adalah memberikan sedekah untuk petugas kebersihan Haram yang menggunakan baju biru yang juga banyak dari Indonesia. Donasi jariyah Al Qur'an cetakan Madinah senilai 50 riyal juga dianjurkan.

Setiap waktu kita mudah menyaksikan momen-momen yang menyentuh hati. Para orang tua yang mengasihi, menasehati, dan mengampuni anaknya (itu juga yang dilakukan ayah dan ibu kepada saya); para anak yang berbakti dan hormat pada orang tuanya; pasangan suami istri yang saling menyayangi; teman yang benar-benar tulus, bahkan orang baru kenal yang ramahnya tidak dibuat-buat. Saya tidak pernah melihat ada orang yang berbicara bernada tinggi, membentak, rasa frustrasi di area Masjidil Haram. Apapun menimpa semuanya diterima dengan ikhlas.

Saya pernah berdiri menunggu sa'i di Shafa, didatangi jamaah dari Kazakhztan yang menyodorkan toples kurma untuk saya comot, kemudian di sebelah saya dan di sebelah saya lagi, sampai habis isi toplesnya, orang itu pun senang dan dengan kerendahan hati mengucap terima kasih, salam, kemudian melanjutkan langkah menghilang dari pandangan. Rasanya itu kurma terlezat yang pernah saya cicipi.

Kesempatan lain, saya sedang mengisi ulang wadah zam-zam, mata air yang tak pernah kering di Arab. Tanpa diminta dan saya perhatikan, seorang langsung membantu saya cepat memenuhi kantong plastik punya ibu saya. Tak ada pamrih di matanya. Ikatan persaudaraan terbangun dengan alami, sesama muslim dan peziarah. 

Di Makkah juga, Allah SWT begitu mudah menjawab keluhan atau impian umatnya. Ibu saya datang ke acara tasyakuran NRA ke-25, travel yang kami gunakan, di Fairmont Hotel yang berhadapan langsung dengan Al Haram, pada 14 Syawal 1446 H. Ada ratusan hadiah undian disiapkan, mulai dari uang tunai dan 25 paket umroh untuk jamaah NRA yang beruntung.

Ibu selalu pesimis persoalan undian. "Tidak pernah ada sejarahnya nama saya dapat hadiah-hadiah undian", ujar ibu, antara pasrah dan mengeluh. Tapi lima menit kemudian, nama ibu terpilih sebagai salah satu pemenang hadiah umroh. Di usia ibu yang ke-75, ia pertama kali mendapatkan hadiah undian, langsung di kota suci Makkah.

Setelah menerima hadiah yang membuat haru, ibu berujar lagi, "Mungkin ini yang Allah SWT berikan karena pada bulan Ramadan lalu, saya tak pernah meninggalkan salat tajahud".  

Di Masjidil Haram, kota suci Makkah, sesuatu yang istimewa selalu terwujud.






















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Review Enlightenment Now: Kehidupan Menjadi Lebih Baik

Kenangan di Prambanan Jazz