Suatu Subuh di Masjid Nabawi (7)
Azan pertama yang saya dengar dari menara Masjid Nabawi adalah azan salat subuh pada Kamis 17 April 2025. Lantunan muadzin mengalun sangat merdu dan syahdu, meresap dalam palung hati saya terdalam.
Bersama Vera, ayah, dan ibu, kami keluar dari hotel melangkahkan kaki bergabung dengan umat Islam dari berbagai negara memadati kompleks masjid yang beridiri megah, dari area dalam hingga pelataran yang sangat luas.
Karena datang lebih awal pada pukul 4:20, saya masih mendapatkan tempat di dalam masjid, saya masuk melaui pintu 20, gerbang tengah bagian utara. Seperti ketika di Masjidil Haram, saya pun berniat setiap salat masuk dari gerbang yang berbeda-beda. Total ada 42 gerbang dan 86 pintu Nabawi.
Masjid Nabawi didirikan Nabi Muhammad SAW pada 622 setelah hijrah dari Makkah, karena itu juga disebut Masjid Nabi. Sebagai informasi masjid pertama di Madinah adalah Masjid Quba yang berjarak 4 kilometer dari Nabawi. Dari sejarah Islam, Nabawi yang pertama dialiri listrik pada 1909 bersamaan dengan masuknya listrik ke Arab Saudi.
Masjid Nabawi adalah masjid tersuci kedua setelah Masjidil Haram di Makkah. Menempati luas 82.000 meter persegi, yang mampu ditempati salat sekitar 800 ribu jemaah. Waktu kami ke sini sedang dilakukan perluasan di sebelah tenggara.
Jika di Masjidil Haram terdapat Kabah sebagai kiblat salat umat Islam di bawah langit tanpa atap, Masjid Nabawi memiliki bentuk persegi empat seperti masjid pada umumnya. Tidak bertingkat, atapnya tertutup, dan semua lantainya dilapisi karpet lembut, termasuk di area pelataran. Kiblat menghadap ke selatan arah mata angin (di Indonesia kiblat menghadap ke arah barat). Hampir di setiap pintunya tersedia tabung-tabung air zamzam beserta cangkir yang bisa diambil sendiri.
Menggabungkan arsitektur Islam dan teknologi modern, kemegahan terpancar mulai dari interior sampai bagian luarnya. Mulai dari dalam gedung hingga ke pelataran, dan atap gedung, masjid ini dipenuhi berbagai ornamen yang memanjakan mata, tak berkedip menatap keindahannya.
Yang ikonik dari Nabawi adalah payung-payung raksasa yang totalnya berjumlah 250 menghiasi pelataran dengan anggun, bukan sekadar melindungi jemaah dari sengatan matahari dan hujan. Payung estetik didesain dengan tekonologi canggih yang bisa dibuka pada pagi dan ditutup menjelang magrib. Cuaca kota Madinah memang lebih panas dari kota Makkah, dan jika malam juga lebih dingin.
Masjid ini dipadati umat dari seluruh penjuru dunia sepanjang hari, 24 jam. Ada banyak rombongan yang memakai pakaian seragam warna-warni mewakili negaranya. Malaysia kuning, Uzbekiztan biru langit, Pakistan hijau. Jika ada dari mereka yang hilang, dapat dengan mudah saling menemukan.
Suasana setelah salat subuh di Nabawi paling berkesan, akan sangat dirindukan. Ramai, meriah, tapi tidak krodit. Subuh itu saya janji bertemu dengan Rusdi, kolega di kampus, di pintu 20 gerbang utama dari arah utara. Kami sangat bersyukur bisa berjumpa dengan suasana yang adem di tanah suci. Sama sekali tidak membicarakan pekerjaan, tapi sharing pengalaman beribadah selama umroh.
Saya juga berkeliling menyusuri sejauh mungkin area kompleks masjid, menikmati suasana pagi, mampir sarapan croissant dan menyesap secangkir americano di food court di dekat pagar 333. Ini satu pagi terbaik yang pernah saya jalani, tak ingin segera berlalu.
Vibes malam juga menakjubkan. Sebelum dan setelah waktu magrib, kompleks Nabawi memiliki pemandangan malam yang indah dengan lampu yang memantulkan sinar dari berbagai sudut bangunannya.
Salah satu yang juga menjadi keistemewaan Masjid Nabawi adalah bangunan Raudah yang berarti "taman surga", yang terdapat makam dan mimbar Nabi Muhammad SAW, serta makam dua sahabat, Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin al-Khattab.
Berada di area Masjid Nabawi terasa menenangkan dan menyejukkan jiwa, menyesap di sanubari. Rasanya seperti berteduh di bawah pohon rindang dengan embusan angin.
Sulit ditulis dan diungkapkan dengan kata-kata.
Komentar
Posting Komentar