Ketika Orang Bugis Berkunjung ke Bugis Village (8)

Minggu pagi 22 September pukul 6.30 setelah menyeduh "Kopi Ujung" dari Makassar di lobi hotel, saya menyempatkan berjalan menikmati suasana pagi yang sepi dan tenang kontras dengan kehidupan malam Chinatown yang gemerlap.

Memilih rute beda dengan yang dilalui semalam, saya melewati beberapa pemukiman etnis China yang khas dan unik. Ada satu tempat menarik perhatian saya yakni Kedai Tong Ah Eating House di kompleks Keong Saik. 

Kedai yang buka sejak 1939- sebelumnya menempati gedung Toah Building Head Potato yang sangat ikonik di persimpangan Teck Lim dan Keong Saik Rd- ini ramai sekali dikunjungi pengunjung yang ingin minum kopi tradisional dan sarapan roti panggang kaya plus telur setengah matang. Di pintu kaca kedai tertulis, "A Ritual for Starting the Day in Singapore".

**** 

Pagi hingga siang hari Minggu ini kami akan menghabiskan waktu di Bugis Village. Senang dan bangga rasanya sebagai orang Bugis, nama sukunya dijadikan sebuah destinasi terkenal di negara sehebat Singapura, walaupun saya sendiri belum paham sejarahnya. 

Dari Halte Opp Blk 333 kami menunggu Bus nomor 80 yang akan membawa kami ke Bugis, turun persis di halte depan Bugis Market. Baru beberapa langkah tiba di Bugis yang sangat panas, Siti dan Uswa meminta jajan es krim Mixue. Kemudian makan siang, awalnya Vera ingin mencoba masakan suki yang dilihatnya dari aplikasi TikTok, tapi tiga kali mengelilingi Bugis Street Food dan bertanya pada dua orang tapi tidak menemukan kedai yang dimaksud, akhirnya lagi-lagi kunciannya adalah McDonald's.

Setelah punya tenaga, waktunya menjelajah Bugis Street Market, satu tempat belanja terbesar-hampir 1000 toko berjualan, dan mungkin termurah di Singapura, untuk mencari suvenir, aksesoris, pakaian, alat rumah tangga, alat elektronik, kosmetik, dan yang lain, mulai dari SGD-1. Meskipun bukan merk ternama, barang-barang yang dijual berkualitas bagus jika kita teliti mencarinya. Kemeja dan kaos kisaran SGD-10, Jins SGD-15, dan sepatu mulai SGD-20.

Saya memilih berpisah dengan Vera Siti dan Uswa yang memburu pernak-pernik sebagai buah tangan, termasuk membeli koper seharga SGD-25, dan puluhan snack. Sedangkan saya ingin mencari kaos dengan tema Formula 1 untuk dikenakan malam nanti, tapi tak ada yang menjualnya, tidak ada euforia Formula 1 di pasar ini. Merchandise Formula 1 hanya dijual di outlet resmi yang berada di mal-mal besar, seperti di Bugis Junction, di seberangnya, tapi karena harganya dari SGD-140, sangat mahal dan tak terjangkau bagi saya membelinya.

Setelah menyusuri Bugis Market dan Bugis Junction, saya memilih singgah beristirahat di Starbucks Junction, sambil menunggu mereka selesai belanja, di mana atmosfer Formula 1 mulai terasa dengan banyak orang mengenakan jersei tim favoritnya. 

Pukul 14.45 kunjungan ke Bugis kami akhiri dan segera balik ke hotel untuk saya dan Vera siap-siap ke Marina Bay menonton balapan Formula 1.

Kami menunggu di halte dan naik bus yang sama saat kedatangan, nomor 8o, dan ternyata salah lagi. Sebelum terlalu jauh, kami turun di halte terdekat, yang beruntung tepat berada di atas Stasiun MRT Promenade, langsung menuju Stasiun Chinatown yang dicapai tidak lebih 30 menit. 

Kami sudah tiba di hotel pada pukul 15.40. Tidak terbayang jika kami yang tersesat mengikuti saja rute Bus nomor 80 hingga tujuan akhir, kami bisa kehilangan waktu hingga 2 jam. Padahal kami ingin secepatnya berangkat nonton balapan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja