Menjajal Haramain, Kereta Peluru Arab Saudi (9)
Ketika manasik, ustadz Agung Wirawan menganjurkan pada pasangan suami istri memanfaatkan perjalanan umroh sebagai kesempatan untuk memperkuat hubungan yang lebih baik, inilah waktunya bulan madu kedua.
****
Usai sarapan di Movenpick Hotel, pada Jumat pagi 18 April 2025, Vera dan saya, segera meluncur ke Stasiun Kereta Madinah, yang berjarak 10 kilometer dari Masjid Nabawi. Kami menumpang taksi dengan tarif 35 Riyal. Hanya ditempuh kurang 20 menit, pada pukul 7:30 kami sudah tiba di stasiun yang berada di Distrik Al Hadra tersebut.
Kami terpukau memasuki stasiun dengan bangunan super modern. Berdiri megah tiga lantai dengan dominasi warna hitam dan abu-abu nuansa glowing. Stasiun dirancang terinspirasi oleh tradisi arsitektur kota sebagai tempat berlindung yang teduh dari terik matahari. Fasilitas dari mushollah, toilet, ruang tunggu, semuanya keren dan sangat terawat.
Suasana pagi itu masih sepi, adem, tidak berisik, tidak seperti suasana ramai stasiun-stasiun yang pernah kita alami di Indonesia. Vera malah membeli buah tangan di outlet Nusuki sembari menunggu waktu keberangkatan.
Hari itu kami akan melakukan perjalanan pergi-pulang (PP) Madinah-Jeddah, tujuannya menonton balapan day-1 GP Arab Saudi Formula-1 yang berlangsung di Sirkuit Jalan Raya Corniche, persis di tepi Laut Merah yang memisahkan Asia dengan Afrika.
Pembelian tiket Haramain bisa dilakukan on the spot di stasiun pemberangkatan maupun secara online, di laman resmi Haramain High Speed Railway. Setiap hari ada sekitar 12 kali jadwal keberangkatan, dari pagi hingga menjelang tengah malam.
Alasan lebih murah 20 Riyal, kami membeli tiket pukul 10:00, melewatkan dua kereta pukul 8:30 dan 9:30. Harga memang bisa berubah dalam hitungan jam, bahkan menit. Untuk tiket pulang, kami mengambil kereta terakhir pada pukul 23:32 dari Jeddah Al Sulaymaniyah Train Station. Harganya pun lebih murah daripada tiket pergi (132 Riyal).
Sesuai jadwal, tepat pukul 10:30, kereta berjalan dan melesat meninggalkan stasiun. Dari layar informasi yang ada di gerbong, terbaca kecepatan di angka hingga 298 kilo meter per jam. Tapi penumpang tak merasakan getaran sedikit pun meski Haramain melaju seperti peluru. Dengan nyaman kita dapat membaca buku, ngobrol, minum kopi, atau snack yang kita boyong, atau bisa kita beli di gerbong.
Melaju dengan kecepatan tinggi, hanya butuh sekitar 100 menit untuk tiba di Jeddah yang berjarak 400 kilometer dari Madinah, memangkas waktu tempuh hingga tiga kali lebih cepat jika menggunakan bus.
Dibandingkan moda transportasi lain, naik kereta api selalu berkesan bagi saya, menyimpan banyak kenangan. Duduk menunggu di peron menunggu kereta datang, dan suasana stasiun yang "magic" sering membuat rindu. Selalu banyak hal menyenangkan tercipta di perjalanan kereta api. Ini kesempatan baik untuk berbagi dengan pasangan, sambil menikmati pemandangan keren rute-rute yang dilalui.
Dari Madinah ke Jeddah atau ke Makkah, kita menyaksikan hamparan padang pasir, kebun kurma, suasana dan kemajuan infrastuktur perkotaan. Saya sempat melihat megahnya kompleks King Abdullah Sport City yang selalu menghelat event sport global, termasuk nanti Piala Dunia 2034.
Perjalanan pergi lancar, namun usai menonton balapan pada pukul 21:25, kami hampir saja ketinggalan kereta karena terjebak di kawasan sirkuit yang sulit sekali mendapatkan kendaraan untuk mengantar ke stasiun yang berjarak 25 kilometer. Kami baru berhasil mencegat taksi setelah berjalan kaki sekitar 3 kilometer selama satu jam, benar-benar waktu krisis yang sangat menegangkan.
Di perjalanan balik ke Madinah pada tengah malam, saya memanfaatkan untuk istirahat, mendapatkan tidur satu jam memulihkan kondisi. Dan sekejap kereta sudah tiba, pada awal pergantian hari pukul 1:20.
Usai tiba di hotel, bersiap melakukan salat tahajjud dan muhasabah di Masjid Nabawi. Setelah itu menikmati pagi terakhir Madinah yang akan dirindukan, mengepak koper, dan menuju bandara pada pukul 11:00 untuk penerbangan pulang ke Indonesia.
Sekali lagi pengalaman menaiki kereta peluru Haramain sangat layak dilakukan, meski harganya tak murah.
Komentar
Posting Komentar