Mengapa Arsenal Gagal di Semifinal Liga Champions
Arsenal melangkah ke semifinal Liga Champions dengan sangat meyakinkan, mereka menghabisi lawan-lawannya dengan skor telak. PSV Eindhoven di Round-16 dihajar agrerat 9-3. Kemudian juara bertahan dan pemenang 15 kali Real Madrid dipermalukan di babak perempat final dengan agrerat 5-1.
Tapi bertanding melawan Paris Saint Germain asuhan Luis Enrique, keperkasaan Arsenal Mikel Arteta layu dua kali.
Leg pertama di markas sendiri, Emirates Stadium London, pada Selasa 29 April 2025 mereka kalah 0-1, dan terbaru leg kedua di Parc De Princes, kembali takluk 1-2 oleh tuan rumah. Agrerat pun menjadi 1-3, sehingga PSG mendapatkan tiket final, untuk kedua kali bagi mereka setelah kalah dari Bayern Munchen pada final 2020 di Lisbon yang tertutup karena Covid-19.
Pada leg kedua yang menentukan kemarin malam, pasukan muda Arsenal yang mengandalkan Declan Rice, Martin Odegard, dan Bukayo Saka, mengawali pertandingan dengan semangat membara. Semua sisi lapangan, setiap inci ruang mereka kuasai, The Gunners menggempur pertahanan PSG untuk mencuri gol penyeimbang secepat mungkin.
Tapi semua serangan bisa digagalkan lini pertahanan Les Parisien, terutama lagi-lagi kecemerlangan kiper Gianluigi Donnarumma. Menit ke-3, bek kanan Jurrian Timber mengumpan ke kotak untuk menemukan Rice, ia melompat mendahului bek Marquinhos, tapi sundulannya melebar dari pojok kiri atas, padahal Donnarumma sudah tidak bergerak.
Pada menit ke-4 dan menit ke-9 kita dibuat terperanjat dengan dua aksi penyelamatan Donnarumma. Pertama tendangan jarak dekat Gabriel Martinelli hasil umpan throw in Thomas Partei masih dapat dihalau oleh Donnarumma. Kedua, saya kira adalah save terbaik laga bahkan turnamen. Berawal dari thrown in dari Partey, kali ini sebelah kanan, bola dibuang bek ke depan kotak. Odegaard yang dekat dengan bola melepaskan tembakan first time. Semua sudah mengira itu gol, tapi entah bagaimana refleks luar biasa Donnarumma melompat dan berhasil menepis peluang gol 99 persen tersebut.
Tiga kesempatan yang hilang dalam sepuluh menit pastinya membuat frustrasi Arsenal. PSG perlahan bangkit untuk keluar dari tekanan, dan Arsenal perlahan-lahan menurun fokusnya. PSG mulai mengancam, menciptakan peluang, pertama adalah tendangan Kvicha Kvaratkhelia pada menit-17 yang membentur tiang gawang.
Dan yang mengubah alur pertandingan barangkali gol PSG menit ke-27. Bermula tendangan bebas Vitinha disundul Partey ke tepi area. Fabian Ruiz yang berada di jalur dengan cerdik mengecoh Gabriel Martinelli, menunggu bola memantul dan melepaskan tembakan kaki kiri ke sudut gawang. Itu gol spektakuler. Arsenal yang semestinya menciptakan gol, justru kini tertinggal, agrerat 0-2.
Babak kedua relatif imbang saat Arsenal habis-habisan mengejar dua gol. Ada penalti Vitinha yang ditepis kiper David Raya pada menit ke-67, tapi dua menit kemudian bek Achraf Hakimi sepeti striker melepaskan tembakan sangat akurat dari jarak 16 meter yang menghasilkan gol, 2-0, dan agrerat 3-0. Hampir tak ada peluang lagi bagi Arsenal.
Pada menit ke-76, Bukayo Saka mempertipis ketertinggalan 1-3, dan bisa saja membuat keadaan menjadi tegang jika Saka berhasil memanfaatkan peluang emas di depan gawang yang sudah kosong pada menit-80, saat PSG mulai goyah.
Arsenal sudah memberikan segalanya, berjuang sampai selesai. Namun pada akhirnya itu semua tidak cukup. Pertandingan penuh gejolak itu pun dimenangkan PSG untuk menyegel tiket final di Munich 31 Mei 2025.
Tersingkir dari Liga Champions memastikan Arsenal akan mengakhiri musim ini tanpa memenangkan trofi. Emosi bergejolak pastinya. Kesal, frustrasi, marah, dan bahkan Arteta mencoba mengklaim sebagai tim yang bermain paling baik tapi tersingkir dari turnamen.
Apakah cukup mengatakan Arsenal dikalahkan PSG hanya karena kegemilangan kiper Gianluigi Donnarumma? Jawabannya pasti tidak.
Eforia dan pujian setelah menumbangkan Madrid atau tekanan psikologis menjalani pertandingan sebesar semifinal Eropa, bisa jadi akumulasi itu sebagai alasan mereka tidak bisa menang. Masih ada saja kesalahan yang mereka buat di level laga semifinal menandakan belum menemukan semua syarat untuk bisa mengamankan tiket final.
Seharusnya mereka lebih klinis dan lebih kejam. Mentalitas klub, rasa takut, dan kegugupan menghadapi tekanan dan menyelesaikan kesempatan begitu kentara di semifinal. Seperti ada hantu yang membayang-bayangi mendapatkan kemenangan.
Sejak era Arsene Wenger dua dekade silam, Arsenal selalu bangga dengan cara bermainnya, tapi sejak 2004 mereka jauh dari trofi Liga Premier dan Liga Champions.
Jika mereka ingin memenangkan trofi mengakhiri penantian, maka harus ada perubahan nilai secara fundamental.
Komentar
Posting Komentar