Di Balik Keluarga FIFA

(sumber: https://www.netflix.com/id-en/title/80221113)

Sepak bola semacam hasrat. Kita suka sepak bola sejak kecil dan seumur hidup. Akan lebih menyenangkan jika tak mengetahui semua kebusukan dalam sepak bola dan hanya menyukai permainannya serta mendukung tim nasional kita, karena rasa percaya dan cinta.

Namun bersamaan merasa ada tak beres dalam pengelolaan sepak bola oleh Federasi. Kita tahu FIFA korup dan kita muak hal itu.

Saya menjadi lebih paham setelah menyaksikan empat serie dokumenter Netflix, FIFA Uncovered yang diproduseri John Battsek dan disutradarai Daniel Gordon mengisahkan dengan gamblang bagaimana kejahatan korupsi sudah begitu mengakar di FIFA, organisasi yang mengatur sepak bola dunia. 

Pada 1904, federasi FIFA dibentuk oleh 7 asosiasi sepak bola Eropa, semuanya amatir dan tidak ada uang bermain. Mereka menjaga nilai-nilai olahraga. Membuat panduan untuk menjaga sportivitas sepak bola, dan melindungi sepak bola dari politik dan propaganda.

Dari situ muncul gagasan mempertandingkan sepak bola secara global, untuk menyuarakan kebaikan. Maka Piala Dunia pertama digelar pada 1930 di Uruguay dengan jumlah 13 negara peserta.

Sejak itu sepak bola menjalar cepat ke belahan dunia, meski FIFA masih organisasi amatir. Sampai pada tahun 1974, semuanya berubah. Terpilihnya Joao Havelenge sebagai Presiden FIFA pada 11 Juni 1974 merupakan titik balik.

Havelange seorang pebisnis, sebelumnya ketua Komite Olahraga Brasil menggantikan tokoh konservatif FA terkemuka, Sir Stanley Rous. Pada tahun itu juga ia mengajak Sepp Blatter bergabung ke FIFA, yang dinilai bisa membangun industri sepak bola.

Pada Havelange dan Blatter inilah dua sosok yang mengundang kapitalisme ke FIFA. Blatter sukses menggaet Coca Cola sebagai sponsor pertama FIFA pada 1976, dan setelahnya diikuti banyak sponsor, Adidas, KLM, Philips, dan sebagainya yang menghasilkan uang.

Sepak bola menjadi produk bisnis, otomatis bersentuhan dengan politik. Tuan rumah Argentina Piala Dunia 1978 didebat karena kental politik, tapi Havelange dengan teguh mendukung Argentina meskipun negara tersebut dikuasai diktator militer fasis kejam dan brutal, Jenderal Jorge Rafael Videla. Bukan menggunakan kekuatan sepak bola untuk menentang kejahatan HAM, melainkan justru mendukung pelanggaran. 

Setelah Argentina 1978, nilai ekonomis sepak bola melambung sejak itu. Horst Dassler owner perusahaan apparel, Adidas, paham benar bahwa pasar sepak bola meroket seiring berkembangnya televisi.

Ia mendirikan International Sport & Leisure (ISL) pemegang hak siar Piala Dunia, memonopoli industri sepak bola, iklan di stadion, dan semua unsur komersial lainnya. Hak siar inilah yang menjadi alat untuk menyuap Havelange dan Blatter.

Selain hak siar, bidding Piala Dunia juga menjadi sumber korupsi. Piala Dunia adalah penghasilan utama FIFA, nyaris 90 persen. FIFA sangat berkuasa karena ada Piala Dunia, satu-satunya turnamen yang disiarkan hampir di seluruh dunia, dan bisa mengumpulkan orang ke jalan berjumlah jutaan.

Banyak negara berusaha keras untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia, karena membangun citra negara penyelenggara sangat kuat, yang tak bisa dicapai dengan hal lain. Itulah kekuasaan besar FIFA dan presidennya, begitu banyak pengaruh terhadap banyak negara.

Piala Dunia Spanyol 1982 secara bertahap FIFA mulai meraup uang, menciptakan organisasi miliaran dollar, dan awal budaya kehidupan mewah pejabat elite FIFA. Mereka menjelajah dengan pesawat jet, mobil terbaik, dan hotel terbaik. Hampir semua uang FIFA berasal dari ISL Dassler.

Setelah Havelange memimpin FIFA selama 24 tahun, ia harus berhenti menjelang Piala Dunia Perancis 1998. Pemilihan Presiden FIFA pada 1998 adalah momen penting bagaimana sepak bola dunia saat ini yang kita saksikan. 

Blatter yang sangat berambisi berhasil mengalahkan pesaing kuat President UEFA Lennart Johanson. Blatter bisa menang ditengarai melakukan banyak suap terhadap negara Afrika dan sebagian negara Eropa.

FIFA di bawah kendali Blatter makin berkuasa dan seperti tak tersentuh. FIFA penguasa dunia olahraga, dan Presiden Sepp Blatter "Godfather" sepak bola. Korupsi semakin menjadi masalah endemis di FIFA, menjadi organisasi kejahatan, mereka terkesan boleh berbuat sesukanya.

Blatter orang yang memiliki hasrat tak pernah puas menjadi pusat perhatian. Ia juga pandai menebeng tokoh politik penting global seperti Nelson Mandela saat menjanjikan Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.

Blatter mengistilahkan organisasinya sebagai "Keluarga FIFA". Menjadi keluarga FIFA seperti berada di taman rahasia yang tak ingin ditinggalkan. Betapa banyak korupsi, keuntungan finansial, kepentingan pribadi, keserakahan, permainan politik, dan pengkhianatan yang ada di dalam "keluarga palsu" tersebut.

Blatter tetap sebagai presiden selama 17 tahun sampai pada Rabu 27 Mei 2015 petang di markas FIFA di Zurich, Swiss, para pejabat elite FIFA ditangkap atas dugaan korupsi oleh investigasi FBI. Departemen Kehakiman Amerika Serikat mendakwa mayoritas anggota Exco telah menerima suap saat voting tuan rumah Piala Dunia 2018 di Russia dan Piala Dunia 2022 di Qatar.

Jika tak memerangi korupsi di olahraga, maka kita tak memerangi korupsi di kehidupan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja