Tradisi dan Darah Panas Pemain Inggris

(sumber: https://www.thestar.com.my/sport/football/2022/)


Sejak juara Piala Dunia 1966 di negeri sendiri, Inggris di Piala Dunia senantiasa ditandai petualangan dramatis. Selalu saja ada drama dan insiden menyertai kegagalan Three Lions di turnamen akbar.

Adu penalti melekat pada begitu banyak momen kekalahan Piala Dunia yang memilukan. Membuat fans atau hooligans kecewa dan frustrasi dalam waktu yang lama. Bagi Inggris, yang mengklaim sebagai negara penemu sepak bola modern, penantian 56 tahun bagaikan hidup pada masa kegelapan.

Pada Piala Dunia 1986 Inggris kalah di perempat final oleh Argentina lewat dua gol ajaib Diego "Dewa" Maradona, dalam duel yang diberi tajuk sebagai laga abad ke-20. Empat tahun kemudian pada Piala Dunia Italia 1990, Inggris yang dilatih manager karismatik Bobby Robson disingkirkan Jerman Barat di semifinal melalui laga brutal adu penalti yang sangat kejam. 

Pemain muda Paul Gascoigne menangisi kekalahan Inggris di Turin. Air mata Gascoigne semacam momen penting dalam sepak bola Inggris, yang membantu orang jatuh cinta lagi dengan tim nasional Inggris. Momen. yang menginspirasi pemain top Inggris kemudian hari, seperti Frank Lampard, Paul Scholes, dan Steven Gerrard.

Skuad Inggris 1998 di Perancis yang dipimpin Glen Hoddle juga kandas lewat drama adu penalti oleh Argentina yang diwarnai insiden kartu merah David Beckham karena berseteru dengan Diego Simeone. Pada Piala Dunia Korea Selatan-Jepang 2022, giliran Brasil mengubur harapan besar Inggris di perempat final lewat gol "ajaib" Ronaldinho ke gawang David Seaman.

Kesialan Inggris berlanjut di perempat final Piala Dunia 2006 setelah dihentikan oleh Portugal, lagi-lagi melalui adu penalti yang juga diwarnai kartu merah pemain bintang tim, Wayne Rooney, dan momen "kedipan mata" Cristiano Ronaldo. 

Kemudian di Piala Dunia 2010, Inggris dihajar Jerman 1-4 di babak 16 besar, yang ditandai drama 'hantu Bloemfontein'. Padahal skuad Inggris 2006 dan 2010 disebut-sebut bermateri pemain level atas, satu generasi terbaik yang pernah dimiliki Three Lions dan diarsiteki Sven Goran Erickson dan Fabio Capello.

Penampilan terburuk Inggris terjadi pada Piala Dunia Brasil 2014. Steven Gerrard cs, yang ditukangi Roy Hodson gagal total. Dua kali kalah dalam dua pertandingan awal, Inggris kalah sehingga Inggris terusir dari Piala Dunia lebih cepat dari tim Inggris mana pun di masa lalu.

****

Tentu bukan sekadar nasib sial saja mengapa Inggris mengalami kegagalan demi kegagalan. Fabio Capello, pelatih senior Italia yang menangani Inggris pada Piala Dunia 2010, mengatakan kepada Gerrad bahwa ia terkejut dengan lemahnya mentalitas tim Inggris. Pemain Inggris dinilainya punya ego yang besar dan bertingkah layaknya anak kecil sepanjang waktu.

Tiap berangkat ke Piala Dunia, Inggris hanya membawa nama besar, tanpa menampilkan sepak bola kelas dunia. Inggris sangat labil dan rentan, tidak mampu melepas tekanan kuat atau terlalu pede. Penampilannya selalu mengecewakan, tidak bergairah, seperti kurang tenaga.

Para pemain yang terpilih dalam skuad telah dikalahkan oleh dirinya sendiri, berlomba menjadi bintang karena perhatian media kepada Inggris selalu menjadi prioritas. Ulah pemain Inggris memang meresahkan.

Steven Gerrard menulis dalam bukunya My Story, mengungkap, darah panas Inggris sulit dibantah, para pemain lebih suka menjadi bintang, kurang fokus pada sepak bola. Mereka dikalahkan oleh dirinya sendiri. Kesombongan mendahului kejatuhan, anggota skuad Inggris selalu merasa "Inilah aku, pemain Liga Inggris", kompetisi paling menarik dan paling kompetitif di dunia.

Jelas Liga Inggris bukanlah liga terbaik di dunia secara teknis, tapi para pemain muda yang bersinar di Liga Premier akan menjadi bintang media dalam semalam. Popularitas semacam itu tidak menguntungkan siapa pun selain agen si pemain dan sponsornya.

Gerrard membandingkan di Jerman seorang pemain dianggap bintang hanya jika dia mendapatkan medali kemenangan Piala Dunia atau Piala Eropa. Sedangkan pemain Inggris sering disebut bintang bahkan sebelum dipanggil tim nasional untuk kali pertama.

Sulit tidak menampik bahwa media Inggris juga biang kegagalan Inggris puluhan tahun. Media tidak seimbang dalam meliput Inggris. Setiap putaran final, markas tim disesaki media untuk menulis kehidupan mewah bintang-bintang yang berada pada puncak popularitas. Hampir tak ada yang terlewat perihal skuad Inggris, meski pun hal yang tidak penting. Model rambut, busana pakaian pacar pemain, harga parfum, semua diekpose ke publik.

Media Inggris juga selalu konfrontasi dengan pelatih. Komentarnya sinis, tidak pernah kehabisan amunisi untuk menyinyir timnas Inggris. Semestinya harus lebih seimbang dalam menulis berita. Pemain perlu mental yang lebih stabil menjalani pertandingan demi pertandingan.

****

Sejak ditangani Gareth Southgate pada 2016, Inggris mulai bersilkap "rendah hati", Southgate melakukan pendekatan berbeda dibandingkan sebelumnya.

Southgate memimpin Inggris pada Piala Dunia Russia 2018 dengan memboyong barisan pemain muda berbakat. Markus Rashford (19), Delle Alli (22), Raheem Sterling (23), dan kapten Harry Kane (24). Atmosfer tim Inggris 2018 jauh lebih "adem" daripada sebelumnya. Barangkali Inggris Southgate lebih realistis karena banyak yang sadar bahwa Inggris tidak diperkuat pemain yang mampu memenangkan  Piala Dunia.

Justru tanpa tekanan dan umbaran media, Inggris sukses melangkah jauh sampai semifinal sebelum dikalahkan Kroasia lewat extra time, pencapaian tertinggi sejak Piala Dunia 1990. Skuad Three Lions 2018 yang dibangun Southgate diproyeksikan mencapai puncak pada Piala Eropa 2020 dan Piala Dunia 2022.

Harus diakui dan diapresiasi pasukan Inggris mulai matang dengan berhasil melangkah ke pertandingan final Piala Eropa 2020 di Stadion Wembley. Sayang ambisi Inggris memenangkan trofi Piala Eropa pertamanya digagalkan Italia melalui drama adu penalti dramatis.

Dua langkah besar yang dicapai pada Piala Dunia 2018 dan ditingkatkan pada Piala Eropa 2020, seharusnya mencapai puncaknya pada Piala Dunia 2022 ini.

Pasukan muda Southgate masih berada di jalur tepat, Harry Kane dan rekan-rekan melangkah ke babak perempat final. Nanti malam di Al Bayt Stadium, Al Khor, Three Lions akan menantang juara bertahan Lez Bleus Perancis, dalam tajuk duel para raksasa Eropa.

Salah satu Harry Kane atau Kylian Mbappe akan menderita. Salah satu Gareth Southgate atau Didier Deschamps akan menjadi pecundang. Hasil pertandingan ini sepertinya akan menentukan banyak perubahan sepak bola Inggris ataupun Perancis.

Salam Piala Dunia.

Hayya Hayya



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja