Drama Adu Penalti Piala Dunia
Dua tim yang tampil bagus di fase penyisihan Grup E yang disebut "grup neraka", Jepang dan Spanyol tersingkir di babak 16 besar, dengan cara yang sama: adu penalti. Jepang menyerah dari Kroasia 1-3, sedangkan Spanyol takluk dari Maroko 0-3.
Jepang mengulang kekalahan yang sama saat dikalahkan Paraguay di babak 16 besar Piala Dunia 2010. Spanyol lebih menderita. Kekalahan pahit ini merupakan yang ketiga melalui tos-tos dalam tiga turnamen akbar beruntun. Pada Piala Dunia 2018 La Roja disingkirkan tuan rumah Russia di babak 16 besar. Kemudian Spanyol juga takluk dari Italia di semifinal Piala Eropa 2020 tahun lalu.
Kekalahan melalui adu penalti sangat menyakitkan. Kita sudah sering menyaksikan pemain bercucuran air mata akibat kalah adu penalti yang dianggap terlalu kejam untuk menentukan kegagalan dalam turnamen seperti Piala Dunia. Adu penalti jelas tidak menggambarkan potensi sebuah tim sesungguhnya.
Sejak pertama kali dilaksanakan pada Piala Dunia 1982 pertandingan Jerman melawan Perancis di semifinal, adu penalti menjadi sesuatu yang rumit, sulit dianalisis, dan banyak drama. Sempat ada wacana untuk menghapus adu penalti, namun sampai kini tak ada solusi yang lebih baik.
****
Ketika awal-awal suka sepak bola, saya senang jika pertandingan sepak bola harus diselesaikan melalui adu penalti. Seru, menegangkan, jantung rasanya mau copot.
Barangkali semifinal Piala Eropa 1992, antara Belanda vs Denmark, merupakan pertama kali, saya merasakan tegangnya adu penalti. Waktu itu Belanda sangat difavoritkan, ternyata ditahan imbang 2-2 oleh tim "dinamit" Denmark, sehingga harus ditentukan adu penalti. Penyerang Belanda, sekaligus pesepakbola terbaik dunia, Marco van Basten, gagal sebagai algojo. Tendangan 'angsa putih" diblok kiper Denmark, Peter Schmeichel.
Denmark ke final dan menjadi juara Piala Eropa setelah mengalahkan Jerman. Momen itu yang meyakinkan saya, bahwa Peter Schmeichel merupakan kiper terbaik dunia. Apalagi setelah melihat peran besar Schemeichel dari dominasi Manchester United di Liga Inggris setelah musim 1993.
Biarpun kiper-kiper sebelum dan sesudah era Schmeichel juga dianggap terhebat, seperti Dino Zoff, Lev Yashin, Gordon Strachan, Gianluigi Buffon, Iker Cassilas, Manuel Neuer, dan sebagainya. Bagi saya, tak ada setangguh Schmeichel di bawah mistar gawang.
Sejak saat itu saya dapat mengingat hampir setiap turnamen akbar seperti Piala Dunia dan Piala Eropa, pasti ada pertandingan fase gugur, pemenangnya harus ditentukan melalui adu penalti.
Ada beberapa masih membekas. Kesatu, final Piala Dunia 1994 antara Brasil dan Italia, yang dimenangkan Brasil, karena tiga "algojo" Italia gagal menceploskan bola, termasuk Roberto Baggio. Banyak orang lebih mengenang Baggio dengan tendangan penalti yang gagal dibandingkan deretan prestasi hebatnya sebelum sepakannya melambung di Pasadena.
Kedua, adu penalti semifinal Piala Eropa 1996, antara Inggris melawan Jerman, juga masih terkenang. Inggris yang tampil apik sepanjang turnamen, berstatus tuan rumah, akhirnya tumbang karena Gareth Southgate, yang kini manager Inggris, gagal menaklukkan Andreas Kopke, kiper Jerman. Airmata Southgate, jatuh di Stadion Wembley mengingatkan air mata Paul Gascoingne di Turin 1990, di hadapan musuh yang sama.
Ketiga, semifinal Euro 2000 saat tuan rumah Belanda tumbang oleh Italia melalui adu penalti, juga yang paling tragis. Bayangkan saja, Belanda harusnya bisa memenangkan pertandingan tanpa adu penalti, karena di waktu normal, Oranye punya dua hadiah penalti dan puluhan kans, namun semuanya tak mau masuk ke gawang Francesco Toldo, kiper Italia.
Saat adu penalti, tiga pemain Belanda pun gagal menyelesaikan tugas dengan baik. Satu di antaranya adalah sepakan penalti bek Jaap Stam yang melambung sangat tinggi di atas mistar gawang. Itu mungkin tendangan penalti paling kacau yang pernah saya saksikan. Sedangkan pemain Italia, Francesco Totti melakukan sepakan penalti berkelas, gaya Panenka, mencip bola ke tengah gawang mengecoh kiper Van der Sar.
****
Satu hal, banyak yang bilang kalah adu penalti ibarat kalah lotre, tidak beruntung. Apes, sial, naas, celaka, atau apapun istilahnya.
Tapi asumsi bahwa adu penalti ibarat lotre, bisa dengan mudah dipatahkan dengan beberapa bukti. Mengapa Jerman empat kali menjalani adu penalti bisa menang terus? Nasib baikkah semata? Lalu Brasil menang empat kali dari lima kesempatan.
Atau jika memang lotre yang sewaktu-waktu bisa berpihak pada hari baik, mengapa tim Spanyol tiga kali beruntu kalah adu penalti. Inggris, Italia, dan Belanda, rekornya juga jelek di adu penalti. Dengan begitu, penalti bukanlah sekadar menggantungkan pada nasib baik saja. Perlu kesiapan, keberanian, dan ketangguhan mental.
Sepak bola zaman dulu barangkali menilai adu penalti hanya ditentukan faktor mental saja, sehingga tak masuk agenda latihan. Bagi mayoritas pelatih, tendangan penalti bukan sekadar persoalan teknis yang bisa dibereskan melalui latihan intens. Tidak peduli seberapa banyak latihan penalti dilakukan, pemain tetap tidak bisa merancang bagaimana sebuah tendangan penalti yang sempurna.
Namun sepak bola modern sekarang ini harus terbiasa menerima adu penalti sebagai rencana dari strategi. Tampaknya, probabilitas adu penalti semakin besar. Dalam pertandingan yang kian menentukan, semua tim bermain hati-hati dan bertahan habis-habisan yang dianggap lebih sedikit resikonya. Oleh karenanya, beberapa pelatih memberikan waktu khusus berlatih tembakan penalti. Bahkan merasa perlu dukungan data statistik dan hukum fisika dari ahli.
Berdasarkan beberapa riset, tendangan penalti yang sempurna adalah pada titik pojok atas kanan atau kiri gawang. Di sisi itu, mustahil diantisipasi kiper. Namun persoalannya, tak banyak yang berani mengincar titik akurat itu. Harus memperhatikan arah angin, rotasi serta kecepatan bola, dan harus membuat kalkulasi cepat di otaknya. Sedikit saja salah, bola pasti melenceng dari target.
Masih ada 8 pertandingan akhir pada Piala Dunia Qatar, saya meyakini masih ada satu atau dua laga yang harus diakhiri dengan adu penalti.
Sekali lagi melaksanakan penalti bukanlah hal yang mudah. Semua pemain terbaik dunia pernah gagal menjalankan misi. Tugas sebagai algojo sangat menekan urat syaraf, jadi kekuatan mental di atas segala-galanya jika urusan penalti. Hanya untuk para pemberani.
Salam Piala Dunia.
Hayya Hayya.
Komentar
Posting Komentar