Palagan Louis van Gaal di Piala Dunia


Aloyius Paulus Maria van Gaal, yang tenar dengan Louis van Gaal (dibaca van Haal), mungkin satu sosok yang paling pas untuk mewakili karakter orang Belanda yang fungsional dan konvensional untuk standar Eropa. Orang londo memang selalu cuek dengan penampilan, tidak penting, niet belangrijk. Mereka hanya antusias dengan sesuatu yang besar dan mencengangkan.

Seperti yang dikutip majalah Kickers, van Gaal lahir di Amsterdam pada 1951, dan sejak umur 12 tahun, dia rajin menyambangi tempat latihan klub Ajax dan melihat bagaimana penemu total football, Rinus Michels, melatih tim kota kelahirannya tersebut. Sampai pada gilirannya, pada 1992, van Gaal-lah yang diberi kehormatan untuk melatih Ajax.

Dari sini publik bola mulai memuji kejeniusannya. Ajax era van Gaal merupakan klub yang begitu dikenang karena idealisme, dengan merancang konsep sepak bola yang rapih dan sangat terukur.

Kita tak pernah bisa lupa karya hebatnya pada musim 1994/1995, saat Ajax yang dihuni pemain muda yang ia didik dengan tekun menuai sukses menjuarai Liga Champions 1995, sekaligus menghentikan dominasi klub AC Milan (Italia) ketika itu.

Namun idealisme van Gaal tak kuasa menahan laju industri yang kian mencengkeram sepak bola. Banyak pemain yang dipolesnya sejak remaja belia, hengkang ke klub-klub elite Italia dan Spanyol.  

Ia pun hengkang. Setelah lima tahun mengukir era emas Ajax, van Gaal berlabuh ke Catalunya, Spanyol, menukangi FC Barcelona. Klub yang dianggapnya dapat menampung potensi kejeniusan dan prinsip sepak bola yang ia cita-citakan. 

Begitu pun ketika kembali ke Belanda menukangi AZ Azkmark, hijrah ke Bayern Munchen Jerman, dan membesut Manchester United Inggris. Ia selalu menanamkan filosofi bermain yang khas, meski pada saat kejayaan Barca dan Bayern, van Gaal sudah tak bersama.

****

Melatih Oranye pada Piala Dunia 2022 bagi van Gaal adalah palagan ketiga. Jika ada noda dalam karir kepelatihan, maka tak lain adalah kegagalan membawa Belanda lolos ke Piala Dunia 2002 di Korea-Jepang, setelah kalah bersaing dengan Portugal dan Irlandia di kualifikasi.

Edisi kedua van Gaal menangani Belanda di Piala Dunia 2014. Di Brasil, van Gaal menebus aib 12 tahun sebelumnya dengan prestasi besar. Ia mengantar "the flyng dutchman" ke semifinal dengan menampilkan performa dahsyat, termasuk membantai juara bertahan Spanyol 5-1, sebelum kalah adu penalti melawan Argentina, dan menang lawan Brasil 3-0 sebagai juara ketiga.

Setelah Piala Dunia Brasil 2014, van Gaal mundur karena ditunjuk melatih Manchester United yang terpuruk sepeninggal Sir Alex Ferguson. Prestasi Belanda pun anjlok dan tak mampu lolos pada dua turnamen akbar, Piala Eropa 2016 dan Piala Dunia 2018.

Belanda bisa bangkit menjelang Piala Eropa 2020 setelah dilatih Ronald Koeman, namun belum sempat memimpin Belanda tampil ke Euro 2020, Koeman 'dibajak' Barcelona, sehingga mendadak diganti Frank de Boer yang tak mampu memaksimalkan talenta-talenta berbakat anak muda "Amsterdamers".

Van Gaal sebenarnya sudah pensiun saat diberhentikan Manchester United pada akhir musim 2016. Kesehatannya juga mulai menurun karena mengidap kanker prostat pada usia 65. Namun federasi sepak bola Belanda KNVB berhasil membujuknya untuk "turun gunung" memimpin "flying dutchman" menghadapi kualifikasi Piala Dunia 2022.

****

Meski menghormati Rinus Michels, namun van Gaal lebih memilih pragmatisme sepak bola, yang membuatnya selalu berseberangan ideologi dengan mendiang Johan Cruyff, murid terhebat Michels. Bagi van Gaal tak ada yang lebih hebat daripada hasil sepak bola, karena van Gaal adalah orang yang senantiasa bekerja dengan konsep terukur.

Di Qatar Louis van Gaal kembali menghidupkan formasi favoritnya, 5-3-2, atau di lapangan lebih banyak menjadi 3-5-2, meski ia dihujani kritik karena formasi yang ia pilih terlalu bertahan dengan menumpuk lima pemain belakang dan dua gelandang bertahan. 

Ia dinilai meninggalkan pola 4-3-3 yang menciptakan total football, identitas Oranye. Padahal, meski berposisi bek sayap, Denzel Dumfires di kanan, dan Daley Blind sisi kiri, lebih sering membantu penyerangan daripada di daerah pertahanan sendiri. Ini membuat variasi penyerangan Belanda sangat variatif.

Empat pertandingan yang telah dijalani Virgil van Dijk dan kawan-kawan di Qatar menunjukkan taktik jenius dan pengalaman meneer van Gaal berperan krusial. Belanda yang sempat biasa-biasa saja di laga Grup A, mulai solid, berbahaya, dan mematikan. Laga terakhir pada babak 16 besar, Belanda menang meyakinkan atas Amerika Serikat 3-1.

Argentina, juara dunia dua kali, diperkuat megabintang Lionel Messi akan menjadi lawan sepadan bagi Belanda di perempat final yang akan berlangsung pada Jumat malam, 9 Desember 2002. Dua tim raksasa memperebutkan satu tiket semifinal, mengulang laga semifinal Piala Dunia 2014 saat Belanda kalah adu penalti.

Van Gaal yang kini berusia 71, tentu ingin menebus kekalahan tersebut dan mewujudkan impiannya, mengantar tim Orange untuk mencapai prestasi tertinggi, juara Piala Dunia untuk pertama kalinya, setelah tiga kali harus puas menjadi runner up pada Piala Dunia 1974, 1978, dan 2010.

Mari kita nantikan.

Hayya Hayya.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja