Terpukau Kemegahan GWK (17)
Bulan Oktober berganti ke November 2025 ketika kami menginap di Askara Canggu Towhouse yang villanya berdesain mezzanine. Usai melewatkan pagi dengan ngopi dan berberes-beres, pada pukul 11.00, Adi, driver mobil rental sudah menjemput kami untuk melanjutkan perjalanan menyusuri pulau Bali saat weekend.
Pemberhentian pertama adalah pasar Love Anchor Canggu, semacam pasar seni yang sedang populer. Kemudian makan siang di Bali Timbungan yang tertelak di Jalam Sunset Road. Usai puas menyantap, selanjutnya menuju Krisna By Pass.
Selesai urusan oleh-oleh pukul 16.20, kami melanjutkan perjalanan sore itu menuju Garuda Wisnu Kencana (GWK), di Desa Ungasan. Dari Krisna berjarak 10 kilometer dan ditempuh selama 25 menit perjalanan lancar, hanya di Jimbaran sedikit macet menjelang Sabtu malam.
Kami tiba di GWK sebelum pukul 17.00. Baru memasuki gerbang GWK sudah terasa kemegahan dan auranya yang kuat. Dari gerbang kita diantar shuttle train sebelum masuk ke Taman GWK yang sangat luas. Sebagai informasi harga tiketnya 150 ribu rupiah.
Vera dan saya sebelumnya pernah sekali berkunjung ke GWK pada Mei 2012 saat menikmati bulan madu perkawinan. Tapi GWK dulu dengan GWK sekarang berbeda. Kini GWK jauh lebih bagus setelah direvitalisasi sejak 2013 hingga diresmikan oleh Presiden Jokowi pada 22 September 2018. Konsepnya menciptakan sebuah ikon budaya dan spiritual yang merepresentasikan Bali dan Indonesia.
Area GWK dikelilingi oleh taman tropis yang rimbun dan terawat dengan baik, semakin memberikan kesan alami dan damai. GWK Park memiliki beberapa area yang semuanya menarik dan unik, yakni Tirta Agung, Plaza Kura-kura, Plaza Wisnu, Plaza Garuda, Lotus Pond, dan Amphitheatre.
Di area-area tersebut kita dapat melihat patung-patung menakjubkan dengan sejarah dan kisahnya masing-masing, galeri yang memamerkan karya-karya seniman, juga pertunjukan seni dan budaya seperti teater, tarian tradisional, dan musik. Waktu kami berkunjung sedang ada pelaksanaan lomba kebudayaan di panggung Amphiteatre yang berlatar patung GWK.
Sebelumnya di Lotus Pond, sepertinya menjadi titik tengah, di sini pengunjung istirahat sejenak. Area outdoor luas ini dengan permukaan rumput yang tercukur rapi dapat menampung 10 ribu orang. Terdapat stan-stan kuliner di tengah deretan kanan dan kiri tebing-tebing kapur raksasa. Siti dan Uswa membeli kopi susu dan dimsum untuk mengemil di padang rumput dengan gaya lesehan.
Menjelang sunset pukul 18.25 kami tiba di tujuan akhir, GWK Statue. Bangunan utama yang menjadi landmark. Di atas bangunan beton dan kaca, dipajang patung GWK dengan intalasi yang pasti rumit. Sebuah patung menggambarkan Dewa Wisnu menunggangi burung Garuda. Gedung dan patung GWK itu berdiri menjulang setinggi 121 meter, adalah karya seni monumental yang dirancang seniman Nyoman Darsana. Karya yang menggabungkan sains dan teknologi, megah dan artistik. Sulit tidak kagum berdiri di depannya.
Di GWK Statue ini pengelolanya berkantor. Di lantai-1 kita mendapatkan informasi edukatif bagaimana sejarah GWK dibangun dan perkembangannya sampai saat ini sebagai salah satu landmark Bali paling terkenal. Taman budaya dengan keanggunan berpadu dengan warisan seni, kemegahan budaya, dan keindahan alam. Spektakuler.
Kami mengakhiri kunjungan di GWK pada pukul 19.45 dengan perasaaan takjub. Sabtu malam itu kami kembali menginap di area Kuta, supaya dekat dengan bandara, mengingat besoknya kami akan pulang.
Tapi sebelum ke hotel, kami makan terlebih dahulu. Menariknya kami semua kompak menginginkan menu makan malam adalah Nasi Tempong Indra, sekali lagi. Jadi pertanyaannya mengapa kita makan nasi tempong dua kali?...





Komentar
Posting Komentar