Malam Terakhir di Negeri Jiran (9)
Setibanya di KL Central dari Genting dan cekin di D' Majestic di kawasan Pudu, pada Selasa sore 28 Oktober 2025, Vera dan saya melanjutkan perjalanan, mengunjungi kawasan Kuala Lumpur City Centre (KLCC), akan berdiri di depan Menara Kembar Petronas, landmark Malaysia.
Untuk kali ini kami menjajal kereta LRT, dari Stasiun Pudu yang berada di seberang hotel. Untuk menuju ke KLCC dari Pudu terlebih dahulu menuju stasiun Masjid Jamek, tarifnya RM-1,2. Kemudian berpindah kereta Kelana Jaya bawah tanah dan melewati dua stasiun yakni Dan Wangi dan Kampung Baru, sebelum tiba pada pukul 18.00 di Stasiun KLCC yang terletak di basement Mall Avenue-K. Salah satu stasiun tersibuk.
Kita nyaman berjalan kaki di jalur mengikuti petunjuk sampai keluar di Jalan Ampang, tepat berada di bawah Menara Kembar Petronas yang menjulang mencakar langit.
Menara 88 lantai ini diarsiteki oleh Cesar Peli, mulai dibangun pada 1992 dan diresmikan pada 1 Agustus 1998. Sempat menjadi gedung tertinggi di dunia dengan 452 meter. Selain ketinggian, arsitekturnya memang unik dan megah, dua bangunan berdiri identik dengan unsur baja dan kaca, jadilah bangunan maha karya. Twin Tower pun menjadi salah satu landmark paling terkenal di Asia, menjadi menjadi simbol kemajuan ekonomi Malaysia. Tak heran semua yang berkunjung mencari spot foto terindah dengan latar menara ikonik.
Usai puas mengagumi Twin Tower, perjalanan kami bergeser ke Pavilon, menyisiri suasana jantung ibukota kota after hours, sempat melintasi Kuala Lumpur Convention Centre (KLCC), venue yang baru saja menghelat KTT Asean dan AS 2025, yang dihadiri Presiden Donald Trump.
Pavilon lebih ramai dan sibuk lagi, ini adalah pusat perbelanjaan mewah di Kuala Lumpur, mirip Plaza Senayan dan Senayan City pada sore setelah pulang kantor. Tapi kami tak berlama-lama di sini, bersiap menuju Pasar Seni (Central Market), yang terletak di Jalan Tun Tan Cheng Lock, persis tepi Sungai Klan.
Pasar Seni juga destinasi populer, pusat membeli oleh-oleh, kita bisa menemukan berbagai macam barang, termasuk kerajinan tangan, tekstil, souvenir, dekorasi rumah, lukisan, dan karya seni lain.
Bangunan Pasar Seni bergaya art-deco, lantainya berupa ubin kecil warna hijau, menciptakan suasana yang menarik kita ke masa lampau. Walaupun pernah direvitalisasi, kesan otentik Pasar Seni tetap dipertahankan.
Venue yang luas ini juga sering dipakai mengadakan pentas seni budaya dan pertunjukan musik. Malam itu sembari berkeliling menikmati suasana klasik, saya membeli segelas es cendol segar di koridor bagian samping yang dipenuhi banyak gerai-gerai kuliner, berdampingan dengan pameran busana.
Usai puas di Pasar Seni, kami bergerak ke Jalan Petaling yang hanya berjarak 500 meter. Bagian dari Chinatown, Petaling adalah jalan terkenal dengan pasar malam yang menjual berbagai macam barang, termasuk pakaian, aksesoris, dan makanan. Membentang sejauh 1,5 kilometer dari Jalan Tun H.S hingga ke Jalan Sultan.
Kami menyusuri jalan di tepi orang makan malam hingga ke trotoar depan restoran masakan China, Melayu, India, dan Jepang. Lengkap. Agak sulit mendapatkan masakan halal di sini, sampai kami menemukan Restoran Mee Tarik Zhang Lala Kuala Lumpur, tepat di ujung Jalan Sultan.
Restoran ini gabungan dua ruko dan berlantai dua, dan selalu dipadati pelanggan. Sewaktu kami datang, kami diarahkan ke lantai dua untuk menempati dua kursi di meja nomor 128, dari sekitar 140 meja. Segera Vera order: beef ramen, fried dumpling chicken serupa dimsum, jagung panggang rempah, dan es cincau jelly. Harganya RM-41,30 ( 165 ribu rupiah).
Karena sangat ramai, kami mengira butuh waktu lama pesanan kami disajikan, ternyata tidak cukup tiga menit satu per satu orderan sudah diantarkan, kami pun menyantapnya hingga tandas. Rasanya tentu saja nikmat dan memberikan pengalaman kuliner yang baru.
Setelah makan di Mee Tarik sekitar pukul 21.30, kami cukupkan perjalanan malam terakhir di Kuala Lumpur. Waktu cepat sekali berlalu...





Komentar
Posting Komentar