Bola Klasik: Final Sea Games 2011 Indonesia vs Malaysia


Satu pertandingan timnas Indonesia yang menyesakkan dada, sungguh sulit untuk menerimanya.

Ferdinad Sinaga meletakkan si kulit bundar di titik putih yang berjarak 11 meter dari garis gawang yang dikawal Kiper Malaysia, Khairul Fahmi. Seketika, anak muda plontos berdarah Batak itu sedikit mengambil ancang-ancang kemudian menyepak dengan kaki kiri. Sayang tendangannya bergerak ke arah yang sama dengan lompatan sang kiper. Laju bola yang tidak cepat memudahkan Fahmi untuk menepisnya. 

Tibalah algojo ke-5 Malaysia yang diemban sang kapten, Badroll Bachtiar. Bola ditendangnya ke arah tengah gawang Kurnia Meiga, sempat membentur kaki Meiga, dan bergulir pelan melewati garis, lucky ball. Malaysia menang adu penalti 4-3 sekaligus meraih medali emas paling bergensi di ajang Sea Games 2011. 

80.000 penonton yang memenuhi GBK dan lebih 200 juta doa masyarakat Indonesia ternyata belum cukup untuk merebut medali emas dari negara tetangga sekaligus rival tersebut. Road to final yang ciamik Egy Malgiansyah cs, harus berakhir tragis melalui tos-tosan setelah bermain imbang 1-1 sepanjang 120 menit. 

Sedikit tidak adil hasil ini untuk diterima meski kita semua tahu ini hanya permainan yang menuntut ada pihak menang dan pihak kalah. Terlebih kita kembali harus mengakui ketangguhan timnas Harimau Malaya, setelah belum setahun Garuda senior juga gagal merebut trofi AFF 2011, meski diunggulkan ketika itu. Nyaris sama peristiwa kemarin, saat tuan rumah begitu difavoritkan, saat itu juga Malaysia membungkam kita semua. Pahit menelannya dan butuh waktu untuk menenangkan hati. 

Semoga tidak menjadi kutukan, bahwa timnas kita akan selalu menjadi runner up di kawasan regional ini. Kita selalu begitu dekat dengan gelar juara, namun selalu juga terlepas secara menyakitkan. 

Pada 1997 SEAG di Jakarta, cabang sepak bola yang masih format senior, timnas kita gagal di final melawan Thailand melalui adu penalti, meski ketika itu Kurniawan Dwi Yulianto dkk, didukung 100.000 orang di Senayan. Kontingen Indonesia meraih 187 keping medali emas, tapi tanpa emas sepak bola !! 

Pada 2002, AFF Cup yang ketika itu masih bernama Piala Tiger, Indonesia juga maju ke final dengan meyakinkan, dan kembali menantang sang juara bertahan, Gajah Putih, Thailand. Lagi-lagi meski diteror seisi GBK, Kiatisuk Senamuang Cs, berhasil mempertahankan trofi, juga melalui kemenangan adu penalti atas tuan rumah. 

Momen emas kembali tampak terang pada 2006 ketika penyelenggaraan AFF Cup, Indonesia ditukangi pelatih hebat Peter White, dan rising star, Boaz Solozza sampai ke partandingan puncak. Kali ini harus berebut juara dengan negara Asean, Singapura, yang sepak bolanya baru berkembang karena banyak menaturalisasi pesepak bola dari Eropa. Indonesia kalah telak di final ganda yang berformat home and away, di saat Indonesia juga dijagokan. 

Lagi-lagi Indonesia memperoleh kesempatan paling baik di AFF Cup 2010, sayang timnas kita banyak direcoki kepentingan politik dan golongan (katanya), sehingga kesempatan di depan mata hilang begitu saja. 

Saya sebagai penggemar sepak bola (Timnas) selama hampir 30 tahun tidak pernah diberi kebahagiaan merasakan secara langsung euforia bagaimana nikmatnya menjadi juara. Medali emas SEAG 1991 belum membuat saya emosional, mengingat saya masih bocah ketika itu dan belum memahami sepak bola dan apa apun dibaliknya. 

Baru pada 1995, awal saya mengikuti persaingan sepak bola hingga kini. Tahun itu ditandai kekalahan memalukan Timnas Indonesia, untuk kali pertama gagal melaju ke semifinal sepak bola SEAG. 

Kemudian rentan waktu 25 tahun perjalanan timnas terus saja saya ikuti, seperti momen-momen final di atas yang menuntut pembalasan terhadap Thailand, Singapura, dan tentu saja Malaysia. 

Gelar masih saja nihil, penantian 29 tahun trofi juara timnas kita masih akan berlanjut. Ayo timnas, jangan berhenti berusaha menjadi nomor satu. 

Saya (kita) sebagai pendukung timnas Garuda masih terus menunggu tibanya kejayaan sepak bola Indonesia. Salam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja