Bola Klasik: PSM vs Bali United 2017

Kehidupan selalu berubah, tak ada keraguan. Masih terasa euforia dirgahayu PSM ke-102 pada 2 November 2017. Perayaan meriah yang momennya bersamaan dengan harapan besar mendapatkan kado istimewa: Juara Liga-1 2017.

Sudah 17 tahun kita menantikan itu. Pesta yang lebih besar nampaknya sudah disiapkan. Saya pun sudah membayangkan kota Makassar akan menjadi lautan manusia berbaju merah berpawai mengarak trofi, bakal lebih ramai dari parade saat PSM juara kompetisi kasta tertinggi pada 1992 dan 2000.

PSM bagi kami warga Makassar, bukan hanya sekadar klub sepakbola. PSM adalah simbol pemersatu, sarana perjuangan, wadah sosial warga masyarakat meluapkan ekspresi guna mencari hiburan tanpa sekat. PSM adalah jeda sejenak dari kota yang bernafsu berlari kencang. Kita bisa saling tak mengenal tapi saat berbicara PSM mata kita semua berbinar.  

Apa bukti? Jika PSM menang pada malam hari, besok paginya cobalah pergi menawar ikan di Pelelangan Ikan Paotere atau belanja sembako di Pasar Terong, di mana mayoritas pedagang adalah fans fanatik PSM, yang bahkan membentuk komunitas PSM militan; maka ada kemungkinan kita mendapatkan potongan harga spesial; saya pernah merasakan keuntungan efek kemenangan PSM.

Beberapa pemilik usaha Barbershop yang kini menjamur di kota-kota, termasuk di Makassar, juga tak ketinggalan membuktikan kecintaan kepada PSM. Saya mendengar mereka akan menggratiskan jasa potong dan perawatan rambut, khusus kepada pemain PSM yang datang di gerai mereka. Tak mahal barangkali, tapi ini sangat bermakna sebagai wujud penghormatan dan rasa bangga kepada PSM. Ada juga satu suporter terbaik PSM bernama Dg. Uki, yang dengan bangga memberikan nama anaknya : Jayalah PSM Reski Ilahi.

****

Liga-1 sudah sampai pengujung. Perjalanan PSM dalam menjalani kompetisi ibarat roler koster. Mengawali putaran pertama dengan baik dan sempat memimpin klasemen, hingga akhir paruh musim, PSM tersungkur hingga peringkat-5. Bangkit lagi di awal paruh kedua, lalu kembali melempem dan nyaris tersingkir dari bursa juara. 

1Kemenangan penting atas Bhayangkara FC, membuat PSM menciptakan peluang lagi menjadi juara. Hingga pada akhirnya harapan besar itu terkubur secara tragis di Mattoanging, malam tadi, di kaki-kaki pesepakbola Bali United.

Masyarakat Makassar pun bersedih. Sepanjang hari ini hampir semua orang di seluruh titik temu kota Makassar; di grup percakapan media sosial; membahas pertandingan semalam kenapa bisa PSM dikalahkan Bali United. Analisa teknik dan non teknik terujar tanpa tersaring pada berbagai aspek di semua lini, termasuk dikaitkan dengan konstestasi politik pilkada yang sedang panas. 

Bukan kebetulan manager PSM Munafri Arifuddin adalah bakal calon Walikota Makassar yang disokong Nurdin Halid yang juga bakal calon Gubernur Sulawesi Selatan. Apakah itu benar atau salah, saya tidak ingin menebak-nebak. Yang pasti, saya membenci siapa saja yang memanfaatkan sepakbola untuk ambisi politik pribadi. Dan menurut saya, faktor utama kekalahan PSM adalah kehilangan fokus (mungkin karena dipolitisasi), dan meremehkan Bali United yang sejatinya adalah rival kuat yang juga masih berpeluang menjuarai kompetisi.

Sebelum laga, PSM dan Bali United punya poin sama 62 dari 32 pertandingan. Bhayangkara FC sementara di atas dengan hanya selisih satu poin. PSM dan pendukungnya sangat yakin dan terlalu berharap Bhayangkara FC yang masih harus berhadapan dengan Madura United dan Persija Jakarta akan tertahan. 

Dengan asumsi mereka pasti akan menang atas Bali United dan Madura United. Dengan begitu hitungannya pakai matematika dasar, klasemen akhir menempatkan PSM teratas dengan 68 poin, sedangkan Bhayangkara maksimal 67 poin. Celakanya, fokus PSM pada Bhayangkara, bukan Bali United, aneh memang.

Bali United tim ke-15 yang menyambangi stadion Mattoanging. 14 tim sebelumnya tak ada satu klub yang bisa mengalahkan PSM, hanya Barito Putra yang bisa mencuri satu poin di stadion yang dibangun untuk pelaksanaan PON 1957 tersebut. Dengan data mentereng itu,  PSM menjadi gegabah justru pada momen yang sangat menentukan. 

Bali United sebetulnya sadar akan rekor kandang PSM, tapi biar bagaimana Bali adalah klub papan atas yang miliki materi pemain berkualitas. Mereka datang ke Makassar tanpa sedikit pun rasa takut, apalagi pasrah dan menyerah. Widodo Cahyono Putro, pelatih Bali United, di konfrensi media sehari menjelang laga, memilih bersikap kalem, namun tersirat sangat siap dan fokus meladeni PSM di laga 'final'.

Sejak pertandingan dimulai hingga selesai, PSM memang terus mengambil inisiatif serangan, namun hampir seluruh pemain PSM tampil di bawah standar, entah karena terbebani atau rasa percaya diri yang berlebihan. PSM kehilangan kendali dan tampak sangat bernafsu mendapatkan gol cepat untuk buru-buru mengunci kemenangan. 

Serangan-serangan yang dibangun PSM relatif mudah dibaca, sehingga tak kunjung menghasilkan gol. Bali United nampaknya sudah mengantisipasi dengan tampil taktis, sabar, rapat, dan keras. Pada waktunya, bersamaan dengan lengah dan frustrasinya skuad PSM, kesolidan pertahanan Bali akhirnya menciptakan serangan mematikan dengan gol tunggal yang dicetak Stefano Lilipaly. Gol kemenangan itu membungkam pemain dan seluruh suporter PSM, dan lalu berbuat kerusuhan.

Meremehkan lawan dan rasa percaya diri sangat berlebihan itu harus dibayar sangat mahal. Ini adalah kenyataan yang sangat pahit untuk diterima. Impian besar Juku Eja seketika terkubur di Mattoanging, stadion keramat yang semakin lapuk.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja