Dirgahayu Kota Makassar

Dari arsip sejarah pada abad ke 15, Makassar menjadi salah satu kota paling berpengaruh di Nusantara, bahkan pertumbuhannya paling pesat di dunia dengan jumlah penduduk yang mencapai 150 ribu jiwa, bandingkan dengan kota Paris, Rotterdam, dan juga Istanbul yang hanya sekitar 100 ribu jiwa.

Kala itu Makassar menjadi kota perdagangan. Posisinya strategis menjadi pintu masuk jalur perdagangan rempah ke wilayah Maluku. Benteng Somba Opu menjadi pusatnya. Benteng ini adalah saksi sejarah kegigihan Kerajaan Gowa serta rakyatnya mempertahankan kedaulatan negerinya dari serangan Hindia Belanda (VOC) dan Portugis. Pada akhirnya menjadi warisan budaya Sulsel.

Kota Makassar tumbuh pesat, sekaligus menjadi titik pertemuan beragam budaya. Berbagai simpul peradaban tertaut di kota yang berjuluk Anging Mammiri ini. Penduduk Makassar sejak awal dikenal ramah dan terbuka. Mampu menerima kultural secara kreatif, dan piawai dalam pergaulan antar budaya.

****

Makassar dengan catatan panjang kejayaan di masa lalu itu kini tersingkirkan. Jangankan menjadi kota dunia, Makassar sudah dianggap jauh tertinggal dibandingkan dengan kota-kota lainnya, terutama kota besar di Pulau jawa. Mungkin banyak yang tidak setuju dengan apa yang menjadi deskripsi saya ini. 

Bukankah Makassar merupakan kota metropolitan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi,-melebihi angka pertumbuhan nasional? Tidak lihatkah sekarang di Makassar banyak berdiri Mall dan pusat hiburan? Atau lupakah saya kendaraan mobil dan motor semakin banyak beredar lalu-lalang di kota yang luasnya 175 km2 dan dihuni sekitar 1,5 juta manusia? Dan masih banyak lain kemajuan fisik yang terjadi di ibukota Sulawesi Selatan ini.

Bagi saya pembangunan kota Makassar tersebut baru sebatas fisik dengan menyampingkan sisi humanis peradaban warganya. Inikah wujud hasrat manusia modern?

Saya sama sekali tidak bangga, bahkan prihatin. Benteng Somba Opu yang saya tulis di atas, kini beberapa tanahnya telah dibangun kawasan wisata berkonsep one stop holiday, diberi nama Gowa Discovery Park (GDP), nyaris hilang sudah aura kejayaan masa lalu dalamnya, meskipun kebijakan Pemerintah Kabupaten Gowa. 

Kemudian Lapangan Karebosi sebagai alun-alun, jantung kota yang sarat histori, tempat segala lapisan masyarakat berbaur dengan hangat, dijadikan tempat bisnis dan mall bawah tanah. Remaja-remaja di sini menyebutnya Karlink, singkatan dari Karebosi Link.

Ikon kota lainnya, Benteng Rotterdam atau Fort Rotterdam, mungkin sedikit lebih baik. Benteng ini memang masih utuh dan terawat dengan baik. Benteng milik Gowa diberi nama “Pannyua” karena bentuknya seperti penyu dilihat dari atas, adalah tempat Pangeran Diponegero ditahan dan wafat sebagai pahlawan nasional. 

Sayangnya, bangunan restoran dan hotel di depannya merusak aura benteng itu sebagai bagain dari sejarah kemaritiman. Seharusnya benteng menghadap langsung ke laut, kini terhalang oleh properti komersial modern.

Saya merasa kota Makassar dibangun untuk bangunan gedung berbahan beton yang angkuh, bukan untuk manusianya. Semua pembangunan hanya orientasi bisnis. 

Mana ada cerita harapan warga Makassar untuk memiliki kebun binatang, gedung budaya, dan kawasan pedestrian dibangun. Padahal kota ini semestinya menjadi ruang kita mengekspresikan cinta, menyenangkan, ramah dan manusiawi bagi semua warganya. 

***

Hari ini, pada 9 November 2020 adalah hari jadi kota Makassar ke-413. Menetap di kota ini memberikan saya banyak pelajaran hidup yang bermakna, bahwa rasa mencintai dan membencinya adalah suatu keniscayaan. 

Tulisan ini hanya curhat kecil kepada siapa saja yang mencintai kota ini. Selamat ulang tahun kota Makassar. I love you. I hate you.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja