Cerita Suporter PSM Makassar (1)

Koran Kompas, pernah menulis cerita suporter fanatik PSM, Dg Uki, dengan judul: '(Nama) Anakku, Jayalah PSM Reski Ilahi’.

****

Sebagai wujud cinta, bangga, dan penghormatan, kepada PSM Makassar, klub kebanggan yang telah berusia 105 tahun pada 2 November 2020, sudah lama saya ingin mengabadikan dengan menuliskan banyak kenangan selama menjadi suporter PSM. Meski harus saya akui, tak semilitan dan ‘segila’ beberapa suporter PSM lain.

Ukuran ‘gila dan militan’ suporter PSM relatif mudah ditakar. Yakni mereka yang rajin mendukung langsung PSM, meski bermain tandang. Paling istimewa ketika PSM bertanding di GBK (Senayan) di babak akhir kompetisi, maka kelompok suporter fanatik PSM mengarungi lautan selama dua hari menuju ibukota.

Sampai sekarang saya masih kerap 'iri' dengan barisan suporter semacam mereka. Menurut persepsi pribadi, hanya ada empat suporter klub sepak bola nasional paling fanatik, paling tradisional mengakar, dan paling ‘gila’. Yakni suporter klub PSMS Medan, Bobotoh Persib Bandung, BonekPersebaya, dan suporter PSM Makassar. Pokoknya cinta sampe mati.

Berawal Tahun 1992

Awal kecintaan saya terhadap PSM terjadi pada 1992. Saat itu, PSM berhasil menjuarai Divisi Utama Perserikatan di Stadion Utama Senayan (sekarang GBK). Alimuddin Usman dkk, membungkam dua favorit juara, Persib Bandung di semifinal; dan PSMS Medan di pertandingan final.

Saya masih ingat lautan merah dan meriahnya kota Ujung Pandang (Makassar), kala menyambut skuad Juku Eja dan mengarak piala presiden ke penjuru-penjuru kota Anging Mammiri. 

Sejak itu, saya menasbihkan sebagai penggemar PSM. Yang tak pernah lupa, saking cinta pada PSM, saya rajin menyambangi Stadion Mattoanging yang hanya berjarak sekitar 3 kilo meter dari tempat tinggal, hanya untuk melihat dari pinggir lapangan pemain PSM berlatih di sore hari.

Menyaksikan latihan seperti 'penebusan' rasa kesal sama ayah yang belum mengizinkan menonton langsung pertandingan resmi PSM yang selalu digelar malam hari. Takut rusuh, kata ayah. Maklum saya masih anak SD berumur 10 tahun.

****

PSM menjalani musim 1992/1993 dengan misi mempertahankan gelar. ‘Mempertahankan gelar jauh lebuh sulit daripada merebutnya’. Begitu yang selalu saya baca dari pengamat bola lokal Ujung Pandang, Piet Hariadi Sanggelorang, di koran Pedoman Rakyat.  

Musim kompetisi Perserikatan pamungkas. PSSI yang diketuai Azwar Anas, akan menggelar Liga Indonesia, dengan melebur kompetisi Perserikatan dan kompetisi Galatama. So, siapa yang berhasil juara Perserikatan, dipastikan akan menyimpan Piala Presiden selamanya.

Sayang sekali, PSM gagal. Bahar Muharram dkk, takluk di laga final dari Persib Bandung yang diperkuat Robbi Darwis, Yusuf Bachtiar, dan Sutiono Lamso, dengan skor 0-2. Satu pil pahit yang mesti ditelan. Biar begitu, suporter tetap menyambut kepulangan klub pujaan hati.

Liga Indonesia Menuju Pentas Dunia 2002

Liga Indonesia, yang diyakini sebagai liga profesional untuk mewujudkan mimpi Timnas lolos ke Piala Dunia 2002, resmi dibuka dengan heboh dan mewah. (Tahun 2002 telah berlalu 18 tahun, alih-alih ke Piala Dunia, prestasi Timnas makin terpuruk)

Peserta LI (selalu juga disebut Liga Dunhill) ada 36 tim dari seluruh Indonesia. Kompetisi dengan klub terbanyak di dunia. Dengan alasan geografis, dibagi dalam dua wilayah—Barat dan Timur. PSM tentu saja diplot di wilayah Timur.

Format LI menggunakan setengah kompetisi dan setengah turnamen. Empat tim teratas klasemen masing-masing wilayah lolos ke babak 8 besar di Senayan untuk mencari siapa gerangan juara sepak bola paling prestisius di tanah air.

Rupa-rupanya, LI yang mengijinkan klub menggunakan 5 pemain asing (hanya 3 yang bisa tampil bersamaan), membuat klub perserikatan yang selalu dianggap non-profesional, keteteran. Termasuk PSMyang tak mampu kompetitif. Ayam Jantan gagal lolos ke babak 8 besar, jika tak keliru menempati posisi 10 wilayah Timur. 

Hanya Persib yang sanggup bersaing, bahkan berhasil menjadi juara, meski hanya mengandalkan seluruh pemainnya berasal dari tanah Sunda.

Nurdin Halid

Hasil buruk edisi pertama, membuat PSM serius berbenah menghadapi musim selanjutnya. Pada musim 1995/1996 inilah awal nama Nurdin Halid masuk ke panggung sepak bola nasional.

Nurdin didapuk menjadi Manager PSM, mengganti La Tinro La Tunrung. Dengan dukungan dana besar, Nurdin mengguncang bursa transfer. Mengontrak tiga pemain asal Brasil. Tentu saya masih ingat: Bek sentral Marcio Novo; Playmaker elegan Luciano Leandro; dan Striker haus gol, Jecksen F Tiago. Beberapa pemain papan atas nasional pun bergabung demi ambisi besar.  

Benar saja, PSM tampil sebagai peringkat pertama wilayah Timur. Di babak semifinal melawan Persipura, PSM menang heroik dengan skor 4-3, setelah lebih dulu tertinggal 1-3. 

Di final, PSM bertemu Bandung Raya. Memang final ideal sejak awal. Bandung Raya kampiun Wilayah Barat melawan juara Timur, PSM. Bakal tersaji adu racikan pelatih Henk Wullems (Bandung Raya) dan M. Basri (PSM). Dan tak kalah seru duel manager papan atas, Tri Goestoro versus Nurdin Halid, yang kemudian hari berlanjut di kepengurusan elite PSSI.

Diguyur hujan lebat, PSM yang lebih diunggulkan, nyatanya tumbang dari kaki-kaki Peri Sandria, Dejan Glusevic, Olinga Atangana, Nuralim, dkk. Hasil ini membuat kecewa pemain, Nurdin, dan segenap suporter. Namun apa hendak dikata dan mau bagaimana lagi.

Musim selanjutnya, format kompetsi diubah menjadi tiga wilayah. Kemudian babak 12 besar, semifinal, dan final. PSM masih menjadi favorit, meski kemudian kandas di babak semifinal dari Persebaya Surabaya, 2-3, lewat pertandingan ketat dan menegangkan. 

Di final Persebaya mengubur mimpi Bandung Raya mempertahankan gelar. Bajul Ijo sejak awal memang unggulan paling atas melihat materi pemain terbaik dari segala lini. Jecksen direkrut dari PSM, Carlos De Melo, ada bek tangguh Bejo Sugiantoro, gelandang enerjik Uston Nawawi, dan striker legenda mereka, Yusuf Ekodono.

Sepak Bola dan Politik

Dua kegagalan beruntun meski sudah mengucurkan dana besar, sempat membuat manajemen PSM kehilangan motivasi. Skuat menjadi lemah dan tak sesolid sebelumnya. Nurdin mundur dari kursi Manager dan menerima tawaran Pelita Jaya. Beberapa pemain pun ikut jejak Puang-sapaan Nurdin.

Namun kita tentu ingat musim 1997/1998 adalah musim paling berdarah-darah, karena kompetisi terpaksa dihentikan karena banyak kerusuhan yang dianggap didalangi kepentingan politik di tahun yang bersejarah bagi negara Indonesia.

Kondisi kondusif setelah Reformasi Mei 1998, kompetisi kembali dibuka. PSM masih sanggup lolos ke babak 10 besar meski materi pemain pas-pasan. Tahun ini klub PSIS Semarang membuat kejutan dengan meraih trofi. PSIS lewat gol tunggal 'Si boncel', Tugiyo, membungkam ambisi Persebaya mempertahankan gelar di laga final, yang diasingkan dari komplek Senayan ke Stadion Klabat, Manado, menyusul rangkaian kerusuhan ‘Bonek’di ibukota (Bersambung).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja