Balada Hutang Piutang Anak Kos


Ini tentang pengalaman sewaktu saya masih menetap di Kota Yogyakarta selama sepuluh tahun. 

Hampir semua orang sudah tahu bahwa dunia anak perantau yang tinggal di kos-kosan tidak lepas dari hutang piutang. Itu memang benar adanya. 

Saya merupakan satu dari bagian besar tersebut. Pengalaman saya hampir tidak pernah menemui ada anak kos di Jogja yang tidak pernah melakukan perikatan hutang piutang. Hutang piutang adalah tema yang selalu dibicarakan para anak kos. 

Terlebih ketika menjalani hidup di sepertiga akhir setiap bulan. Uang bulanan kiriman dari orangtua telah menipis atau bahkan telah habis. Dengan begitu meminjam uang kepada teman yang masih memiliki cadangan dana adalah cara paling cepat dan sederhana untuk tetap bertahan hidup. 

Selain berhutang sesama teman yang berbaik hati, setiap anak kos juga pasti memiliki warung makan atau kedai favorit karena diperbolehkan untuk kasbon dengan alasan tanggal kalender lagi tua.

Di beberapa kedai, saya juga diberi keringanan untuk berhutang. Mereka paham dan mempercayai kami tanpa ada intimidasi untuk secepatnya membereskannya. 

Tentunya saya paling ingat dengan kedai sebelah kos saya, yang kami sebut secara tak resmi dengan ‘Warung Gatot’, itu merujuk nama pemilik warung tersebut. Di Warung Gatot, nyaris enam tahun saya banyak menggantungkan kebutuhan metabolisme tubuh saya untuk tetap bernapas.

Saat itu pada 1998 hingga 2004, Warung Gatot melayani dua kos, karenanya Pak Gatot menyiapkan dua buku kasbon agar lebih mudah mengeceknya. Setiap selesai makan, kami hanya diminta menulis daftar lauk pauk yang telah kami santap dan kemudian bapak atau ibu Gatot lah yang menulis nilai nominal dari menu pilihan kami tersebut. 

Bahkan Pak Gatot tidak berkeberatan menu pesanan kami diantar langsung di depan kamar, padahal orderan itu dibayar secara hutang. Ketika uang transferan saya tiba, hutang bulanan tersebut segera saya tunaikan, maka halaman nama saya di buku kasbon diperbarui lagi. 

Kisah dan pengalaman dengan warung yang kami namai warung Gatot adalah bagian tak terpisahkan dari balada anak kos seperti kami. Saya termasuk pelanggan yang paling aktif menulis di buku itu. Nyaris setiap hari. Saya tidak pernah dapat memastikan berapa jumlah pasti hutang saya tersebut jika semuanya dikalkulasikan.

Hidup sebagai anak kosan di kota Jogja memberi pengalaman tentang bagaimana memanajemen uang bulanan dari orangtua. 

Ayah sebenarnya memberi lebih dari cukup untuk hidup layak anak kos. Tapi entah karena saya memang orang yang tidak baik mengelolanya, selalu saja uang itu tidak pernah cukup menghidupi saya setiap bulan. Dengan begitu hampir setiap bulan saya harus meminta tolong kepada teman kos, teman sekolah, teman kuliah, untuk meminjam uang.

Beberapa tahun kemudian ketika kami penghuni kos itu yang telah terpisah satu sama lain di berbagai penjuru Indonesia, dipertemukan dalam group aplikasi WhatsApp, kami masih selalu mengobrolkan dengan penuh humor mengenai hutang-piutang kami di Warung Pak Gatot. 

Secara tak langsung kami mengangap Warung Gatot menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan kami sebagai anak kos.

Salam istimewa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja