Istimewanya Jogja

Ini bukan tentang soal kota yang dipenuhi gedung tinggi menjulang dan mewah. Ini tentang bagaimana soal cara hidup kita. Bagaimana cita-cita kita bersama dibangun, idealisme, dan identitas kita dipertahankan, serta bagaimana nilai, kultur, dan tradisi yang kita anut diwariskan.
Bisa kembali ke Jogja selalu spesial. Membawa saya pada kenangan lama, pada nostalgia yang sejatinya tak pernah berlalu dalam hidup saya. 
Pada 1997 saya disekolahkan ayah di kota pelajar ini. Setiap bulan saya dikirimi uang Rp. 150,000. Zaman itu sekali makan di warung dengan menu lauk-pauk macam nasi sayur ayam tempe-tahu, kerupuk, minuman es teh, kisaran harga Rp. 700 s/d Rp. 900,-. Murah dan enak.
Mimpi indah itu usai, setelah negera kita diterpa krisis moneter yang menciptakan reformasi pada 1998. Tak ada lagi sekali makan di bawah harga seribu (sewu). Kemarin, saya mampir makan siang dengan menu makanan yang serupa dulu, harganya sekarang Rp. 10.000. Artinya berdasarkan estimasi, dalam rentang 22 tahun kemudian, biaya hidup di Jogja telah melonjak sepuluh kali lebih besar dari zaman saya dulu.
Seharusnya uang Rp. 1,5 juta (hasil bertanya rata-rata kiriman anak kos saat ini) lebih dari cukup-. Namun hidup sekarang di Jogja tak sesederhana sewaktu zaman kami. Dulu persoalan utama hanya urusan bisa makan, titik. Syukur-syukur jika tak punya kasbon di kedai langganan (mana ada ana kost tak punya hutang). 
Hangout ke Malioboro Mall atau ke Galeria Mall adalah barang mewah. Kebanyakan kami berkumpul berganti-ganti di rumah kost. Paling-paling jika ada sedikit uang, kami nankring di angkringan yang murah meriah, biasa juga disebut warung koboi.
Di Jogja era milennium sekarang, mahasiswa lebih senang kongkow di mal-mal dan caf-caf franchise yang tumbuh seperti cendawan di musim penghujan. Dengan berat harus saya katakan bahwa Jogja menjelma kota modern sedemikian cepatnya. Menciptakan metropolitan yang gemerlap, mencoba meniru kemegahan Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Wajah kota yang bersahaja, kalem, sederhana semakin tak terasa lagi.
Susurilah kota, maka dengan mudah Anda akan menemukan puluhan hotel dan mall mewah berdiri angkuh di sepanjang jalan. Terasa mengintimadasi orang yang melihat dan masuk kedalamnya. Padahal dulu, konon, tak boleh ada gedung yang berdiri melampaui tingginya Hotel Ambarukmo. Bisa kualat katanya. Meskipun saya tak percaya dengan mitos itu, saya tetap suka dengan faktanya.
Juga kemacetan makin parah, suara klakson kendaraan bermotor bertambah bising, warganya pun kini selalu tergesa-gesa, tidak tertib, dan tidak disiplin berlalu lintas. Di sepanjang jalanan, iklan-iklan komersial menganggu kenyamanan dan keindahan estetika Jogja.
Toko ritel minimarket semakin berdempet-dempetan, caf-caf kelas urban tumbuh dimana-mana hingga mengikuti pemukiman mahasiswa. Membuat saya merasa seperti tidak berada di Jogja di titik-titik tersebut.
Saya pun menyambangi ruang-ruang publik seperti di caf, atau Mall, dimana mereka berkumpul di satu meja. Namun perkumpulan hanya secara fisik, pikiran mereka telah tertanam pada gawai masing-masing. Tak ada obrolan seru dan diskusi sengit seperti halnya dulu jika kami meriung mengitari satu meja. Di titik ini, teknologi informasi menghambarkan kualitas kehidupan waktu bersama, membuat hidup tak lebih menyenangkan.
Mengutip Bre Redana, ibarat musik, kita kehilangan irama, ritme, dan jeda. Sesuatu yang sangat mahal nilanya. Kesimpulannya, pikiran saya tahu bahwa sekarang Jogja jauh lebih modern, namun sesungguhnya hatiku sulit menerima.
Saya pun paham Jogja tak bisa sama lagi, namun saya selalu merindukannya. Semoga selalu menjadi kota yang nyaman, aman dan tetap istimewa di hati masyarakat Jogja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja