Memahami Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia adalah kodifikasi hukum pidana dari Wetboek van Strafrecht (WvS), kitab hukum pidana Belanda. Belanda sendiri butuh waktu sekitar 70 tahun untuk mengadopsinya dari hukum Perancis. Sementara hukum pidana Perancis berkiblat dari hukum Romawi.
KUHP Hindia Belanda berlaku sejak 1918. Pada saat Indonesia merdeka pada 1945, dilakukan pengesahan KUHP Hindia Belanda menjadi KUHP Indonesia untuk mengisi kekosongan hukum yang ada, diatur pada Pasal II mengenai Aturan Peralihan UUD 1945.
Apa saja isi dari KUHP warisan kolonial itu ? Terdiri dari dua buku. Buku kesatu berisikan asas-asas, berdasarkan pada doktrin dan perkembangan teori hukum. Buku kedua mengenai tindak pidana, terdiri dari 780-an pasal.
Urgensi Revisi KUHP?
Aturan hukum pidana yang berlaku selama ini merupakan hasil warisan dari pemerintah Hindia Belanda. Selama 74 tahun kemerdekaan RI yang berarti kedaulatan hukum, kita ternyata tidak punya kebanggaan dalam hukum pidana.
Oleh karena itu, revisi KUHP diperlukan untuk menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia, yang mencerminkan nilai-nilai ideologi dan nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia yang bercirikan serasi, selaras, dan seimbang seperti terkandung dalam Pancasila.
Prinsipnya KUHP bukanlah kitab suci. Kebutuhan untuk merevisi KUHP memang diperlukan. Konstitusi kita saja, UUD 1945 sudah empat kali diamandemen, tapi kita belum pernah merevisi KUHP. Ternyata jauh lebih susah merevisi KUHP daripada Undang-undang Dasar.
Hal itu karena perumusan substansi revisi KUHP yang diatur di dalamnya beraneka ragam dan sangat luas. Mengintegrasikan 780-an pasal dengan dua ratus UU sektoral dan isinya memuat sanksi pidana ke dalam KUHP. UU sektoral contohnya seperti UU Narkotika, UU Terorisme, UU Korupsi, UU Pencucian Uang, UU Perdagangan Manusia. Pengintegrasian tersebut tidaklah mudah karena beberapa UU saling tumpang tindih. Semua pertimbangan itu harus sinkron dan terintegrasi ke dalam KUHP.
Hal itu yang membuat pembahasannya tidak mudah, membutuhkan waktu lama. Membahas sedikitnya 700 pasal pada KUHP tidak bisa dilakukan gegabah dan tergesa-gesa.
Teori-teori, permasalahan, dan aspek-aspek sosio-kriminologis yang bertalian dengan pidana dan pemidanaan--penologi--bukan suatu masalah yang gampang dan mudah dipecahkan.
Teori-teori pidana yang sampai sekarang masih diajarkan di fakultas-fakultas hukum di Indonesia masih falsafah barat, tidak berakar pada kultur bangsa Indonesia, dari sini akar masalahnya. Banyak teori telah diciptakan, banyak pula yang sulit diterapkan secara praktis.
Setelah ditelaah RKUHP masih memuat ketentuan-ketentuan kontroversial seperti Pasal Hukuman Mati; Pidana Makar; Penodaan Agama; Perzinaan; Menunjukkan pencegahan kehamilan dan aborsi.
Pengaturan tindak pidana yang disebut di atas mudah ditafsirkan subyektif oleh kepolisian, pembuktiannya akan sumir, sehingga rentan akan mengkriminalisasi warga. Negara juga terlalu jauh masuk dalam ranah pribadi masyarakatnya pada ketentuan-ketentuan privat.
Juga pasal karet tentang penghinaan presiden dan wakil presiden sebagai kepala negara, merupakan kemunduran demokrasi karena mengancam kebebasan pendapat, termasuk pemberangusan pers. Pasal ini sejatinya sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak lagi relevan---dulu dimuat dengan maksud untuk melindungi Ratu Belanda. Batasan mengkritik dan menghina kepala negara, jadi sulit, bergantung siapa yang menafsirkan.
RKUHP juga tegas melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Klasifikasi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) terhadap korupsi tidak ada dalam RKUHP. Penanganannya biasa saja, mirip pidana pencopetan, dan sanksi hukumannya berkurang, minimal dua tahun dibandingkan empat tahun di UU Tipikor. Ini kemunduran jauh ke belakang.
Pembahasan RKUHP terkesan tidak ada koordinasi, didominasi oleh pemerintah dan DPR. Institusi penegak hukum, yang akan menerapkannya belum banyak dilibatkan. Padahal pembahasan RKUHP membutuhkan kompetensi praktisi dan ahli hukum yang mumpuni serta tidak terlibat dalam kepentingan politik.
Jika tidak, maka yang terjadi bukan substansi yang dibahas melainkan kegiatan transaksional terkait jual beli pasal. Yang terjadi di Indonesia selama ini, korupsi dimulai dari saat pembentukan sebuah undang-undang.
Ketika hukum (KUHP) tersebut diberlakukan, mau tidak mau dan suka tidak suka, masyarakat harus menaatinya. Revisi KUHP memang menjadi kebutuhan, namun seharusnya tidak perlu dilakukan secara tergesa-gesa disetujui menjadi UU, ketika ketentuan-ketentuan kontroversial belum segera dibereskan lebih dulu.
Komentar
Posting Komentar