Ode untuk Lin Dan


Sebagai orang Indonesia pada umumnya, saya menggemari dua cabang olahraga terpopuler: sepak bola dan bulutangkis.
Sejak saya menjadi penggemar badminton pada akhir 1980-an, China selalu menjadi rival utama dengan kekuatan besarnya. Setelah China ada Malaysia, Korea Selatan, dan Denmark. Belakangan Jepang menjadi kekuatan baru.
Dari puluhan pemain tunggal putra China yang pernah saya amati tiga dekade, hanya dua pemain yang paling menakutkan: Zhao Jianhua dan Lin Dan. Keduanya kebetulan pemain kidal, yang menjadi monster pembunuh bagi pemain Indonesia pada generasi berbeda.
Zhao Jianhua menggantikan pemain seniornya Han Jian dan Yang Yang. Jianhua adalah juara All England 1985 saat berusia 20, kemudian juara lagi pada 1990. Juara Dunia 1991, dan meraih dua medali emas pada Asian Games 1986 dan 1990. Gelar perorangan dilengkapi dengan mengantar China memenangkan Piala Thomas pada 1988 dan 1990.
Jianhua adalah fenomenal dan senantisa meneror, ia antagonis pertama saya sebagai penggemar badminton. Tunggal andalan Indonesia seperti Alan Budikusumah dan Joko Suprianto hampir tak pernah bisa mengalahkan Jianhua. Hanya Ardy Wiranata dan Hendrawan Susanto yang bisa beberapa kali mengalahkannya, itupun rekor head-to-head Jianhua masih unggul.
Tapi satu kekalahan Jianhua yang manis dan tak terlupakan bagi saya adalah di Olimpiade Barcelona 1992. Saat itu ia merupakan kandidat terkuat nomor tunggal putra memenangkan medali emas pertama Olimpiade, yang baru mempertandingkan resmi badminton.
Namun di perempat final 'monster' Jianhua ditumbangkan oleh Hermawan Susanto. Kemenangan besar Hermawan yang berdampak luas, melapangkan tiga pemain Indonesia menguasai podium juara: Alan Budikusumah (Emas), Ardy B Wiranata (Perak), dan Hermawan Susanto (Perunggu). Saya terharu menyaksikan lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang mengiringi tiga bendera merah-putih berkibar di Pavello de la Mar Bella, Barcelona, pada 4 Agustus 1992.
Sejak kegagalan di Olimpiade Barcelona, setahu saya Jianhua mulai menurun kemudian gantung raket. Ada rasa lega saat legenda Jianhua mundur meskipun saya tahu China tak pernah kehabisan melahirkan talenta-talenta hebat.
Barcelona 1992 juga momentum awal dominasi Indonesia di sektor putra. Selain trio Barcelona, kita masih punya Joko Suprianto (juara dunia 1993), dan Hariyanto Arbie (juara All England 1994 dan 1995) kemudian disusul Taufik Hidayat di akhir milenium. Mereka silih berganti menjuarai rangkaian turnamen, baik perorangan maupun beregu, Thomas Cup. Meskipun tunggal putra gagal di Olimpiade Atlanta 1996 dan Sydney 2000, dan All England sejak 1995.
Memasuki abad baru, kekuatan putra China mulai bangkit dan mendominasi. Salah satu faktornya kehadiran Lin Dan, yang mulai berkarier pada saat kejayaan tunggal putra Indonesia berada di senjakala, tanpa alih generasi yang baik. Barangkali hanya menyisakan Taufik Hidayat yang kompetitif. Sony Dwi Kuncoro dan Simon Santoso masih sangat labil untuk bersaing dengan Lin Dan.
Saya pertama kali menyaksikan penampilan Lin Dan di Piala Thomas 2004 di Istora. Ia datang ke Jakarta memimpin tim China dengan menyandang status sebagai juara All England 2004. Indonesia sendiri adalah juara bertahan lima kali beruntun sejak 1994 hingga 2002. Tapi saya ingat, Indonesia kurang diunggulkan. Hanya faktor menjadi tuan rumah, peluang juara agak terbuka. 
Lin Dan tampil konsisten di Jakarta. Di semifinal Indonesia bertemu China, dan tunggal putra pertama adalah Soni Dwi Kuncuro, yang saat itu bisa dikatakan kekuatannya masih seimbang dengan Taufik Hidayat. Ada yang bilang memasang Taufik di tunggal kedua merupakan bagian dari strategi mencuri setidaknya satu poin di sektor tunggal. 
Seperti yang sudah diprediksi, Lin Dan mengalahkan Sony dan 10 ribu suporter fanatik yang memenuhi Istora. Lewat pertarungan cukup ketat, Lin Dan berhasil mengatasi tekanan berat dan membuka kemenangan pertama untuk tim China, yang pada akhirnya ke final dan menjadi kampiun. Thomas Cup pertama kali untuk China sejak 1990, dan pertama untuk Lin Dan.
Sejak itulah, saya yakin ia adalah pemain yang sangat hebat, sangat tangguh, dengan kemampuan komplit yang mumpuni. Mengingatkan saya pada Zhao Jianhua, pemain China paling berbahaya yang pernah saya tonton sebelumnya. Kebetulan Lin Dan dan Jianhua sama-sama pemain kidal. 
Lin Dan adalah tipikal pemain dengan teknik paling mengagumkan. Kemampuannya komplit nyaris tanpa cacat, smash tajam menukik, lob yang sangat dalam, drive sulit, netting yang tipis, dropshoot menipu, ditopang oleh kaki-kaki kuat dan lincah menutupi semua area permainan seperti tak ada celah untuk lawan bisa mematikannya. Ia dijuluki "tembok China" karena sulit ditembus.
Setelah Thomas Cup, Olimpiade 2004 Athena menjelang. Tentu Lin Dan sangat difavoritkan memenangkan medali emas, sebagaimana Jianhua di Barcelona 1992. Tim badminton Indonesia datang ke Athena dengan was-was tidak bisa mempertahankan tradisi emas karena pebulutangkis kita di semua nomor tidak lagi konsisten dan meyakinkan.
Hasilnya mengejutkan, fenomena Jianhua di Barcelona mirip dengan Lin Dan di Athena, menjadi berkah bagi Indonesia. Lin Dan takluk di babak pertama oleh Ronald Susilo, pemain Singapura berdarah Indonesia. Kandasnya Lin Dan membuka lebar-lebar langkah juara Taufik Hidayat, dan juga Sony meraih perunggu.
Setidaknya hanya tiga kekalahan Lin Dan yang paling bisa saya ingat. Selain di Athena, dua lagi kekalahan penting Lin Dan saat menyerah pada Taufik di Kejuaraan Dunia di Anheim Amerika Serikat 2005 dan pertandingan final Asian Games Doha 2006. Di Anheim AS, Lin Dan tak berkutik dan kalah begitu mudah (3-15, 7-15). Konon itulah penampilan terbaik Taufik sepanjang karirnya, nyaris sempurna. Sedangkan kemenangan Taufik atas Lin Dan di Doha lewat pertandingan dramatis di set kedua.
Setelah itu, Taufik sudah melewati puncak performa, sedangkan Lin Dan semakin matang baik secara teknik dan lebih penting lagi berhasil membangun mental baja, faktor yang membuatnya gagal di Athena, AS, dan Doha, sekalipun ia unggulan teratas.
Jadi masa dominasi Lin Dan bisa dikatakan setelah kegagalan di Doha 2006, ia belajar banyak menata mental dan fokus berlaga di pertandingan besar. Lin Dan menjelma sosok tangguh yang sulit dikalahkan di turnamen-turnamen bergengsi. Taufik dan Peter Gade mulai kedodoran hingga pensiun, hanya Lee Chong Whei yang sesekali mengusik Super-Dan.
Rentang waktu 2006 sampai 2014, Lin Dan berhasil menyabet lima Kejuaraan Dunia; dua medali emas Olimpiade (2008 dan 2012); dua medali emas Asian Games (2010 dan 2014); dan menambah empat kali juara menjadikan enam trofi All England, terakhir pada 2014 dan belum ada tanda-tanda ia pensiun saat itu. Membuat saya gusar ia bisa menyamai prestasi Rudi Hartono dengan delapan trofi turnamen klasik tersebut.
Rasanya Lin Dan bukan hanya antagonis utama bagi Indonesia, namun juga buat Malaysia dan Denmark. Karena superiotas Lin Dan, Chong Weei, dan Gade, tak pernah bisa juara dunia dan meraih medali emas olimpiade. Sedangkan Taufik tak pernah sukses di All England.
Pada Sabtu 4 April 2020, di tengah pandemi korona, Lin Dan mengumumkan pensiun dari cabang yang membuatnya menjadi legenda. Kepergiannya layak dikenang dan dihormati, termasuk pecinta badminton tanah air yang memusuhinya karena kehebatan sang maestro.
  
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja