Legenda Si Nyonya Besar yang Terhormat


Bagi saya, ada dua hal menarik jika berbicara tentang klub Juventus.

Kesatu, penyematan istilah La Vecchia Signora, sebagai julukan klub yang bermarkas di kota Turin ini. La Vecchia Signora secara harfiah berarti Si Nyonya Besar-bukan Si Nyonya Tua, dan hampir semua pecinta sepak bola tahu itu.

Konon julukan itu sengaja diberikan suporter mereka untuk mengklaim Juventus adalah klub terbesar dan ibu dari semua klub yang ada di Italia. Semacam ‘justifikasi’ bahwa Juventus selalu mendapat perlakuan istimewa dari otoritas sepak bola Italia, FIGC, terutama jika ada indikasi keberpihakan wasit.

Tentu banyak tifosi klub lain seperti Milanisti, Interisti, Romanisti, Laziale, tak sepakat. Namun yang pasti klub ini memiliki perjalanan panjang yang banyak mewarnai dunia sepak bola, terutama di abad-20, dan dua dekade abad-21.

Sejarah telah mencatat bahwa klub dengan kostum hitam-putih (Bianconeri) ini penguasa Lega Calcio Serie-A, dan tak pernah berhenti melahirkan pesepakbola terbaik Eropa dan Dunia pada zaman-nya masing-masing. Saya paling ingat dengan tiga nama legenda. Michel Platini, Roberto Baggio, dan Zinedine Zidane.

Sejarah juga telah menulis berbagai peristiwa yang mengguncang jagat sepak bola melibatkan Juventus sebagai aktor utama protagonista maupun antagonis. Tragedi Heysel 35 tahun lalu adalah momen sepak bola paling buram, final Piala Champions 1985 yang mempertemukan Juventus dan Liverpool itu menewaskan 39 suporter tewas dan 600 lebih luka-luka.

Kedua, yang tak bisa lepas dari klub Juventus adalah skandal pengaturan hasil pertandingan di Serie-A, yang terbongkar pada 2006. Juventus terbukti menyuap beberapa wasit demi gelar scudetto 2005 dan 2006. Gelar yang akhirnya dicopot dan mengempaskan Juventus terdegradasi ke Serie-B. Zaman tergelap Juve.

Vonis itu membuat saya merasa menemukan pembenaran mengapa Inter Milan dan Lazio tak pernah bisa menang melawan Juventus. Saya dan Interisti masih belum melupakan patah hati pada musim 1998 saat skandal Ceccarini; dan drama pertandingan scudetto pada musim 2002.

Dasar penggemar sepak bola egois, alih-alih kecewa Liga Serie-A tanpa Juventus, saya justru ‘mensyukuri’ kecurangan Juve, yang dengan sendirinya memberikan jalan lapang untuk Inter Milan menguasai sepak bola Italia, bahkan menjuarai Liga Champions 2010 bersama Il-Speciale Jose Mourinho.

Si Nyonya Besar rupanya belum mau mati, ia menolak menyerah dengan bangkit dari keterpurukan sedemikian cepatnya. Hanya setahun Bianconeri bermain di Serie-B. Jelas di sana bukan habitatnya.

Namun banyak yang memprediksi sudah terlalu sulit bagi Juventus untuk menjuarai kembali Serie A. Bahkan saya terlalu cepat memprediksi Juventus akan bernasib sama dengan klub Bologna dan Torino, mantan penguasa Serie A yang sudah puluhan tahun, tak lagi berjaya sampai saat ini.

****

Penilaian skeptis saya kepada Juventus terbukti salah besar.

Pada Minggu 26 Juli 2020 lalu, Juventus kembali menjuarai Liga Italia. Scudetto kesembilan kali berurutan sejak 2012. Sembilan gelar tersebut dipersembahkan oleh tiga alenatore: Antonio Conte (2012-2014); Massiamiliano Allegri (2015-2019), dan kini Maurizio Sarri (2020). Secara keseluruhan Juventus telah memenangkan 36 gelar juara Serie A.

Belum pernah ada klub yang bisa juara sembilan kali beruntun di kompetisi mana pun. Bahkan Bayern Munchen yang sejak lama menguasai kompetisi Liga Jerman, musim ini ‘baru’ di angka delapan (2013-2020). Rekor yang diciptakan Juventus satu dekade ini jauh melebihi pencapaian dominasi mereka pada pertengahan era 1990-an saat ditukangi Marcelo Lippi. 

Sebenarnya musim ini kesempatan itu terbuka untuk para rival mengusik tahta Juventus. Lazio, Inter Milan, Napoli, dan Atalanta sempat mengancam hingga kuarter terakhir kompetisi.

Antonio Conte yang kini menukangi Inter Milan, tidak atau belum sanggup mematahkan kekuatan klub yang ia bangun dulu. Klub ibukota, Lazio yang juga sempat menebar teror dengan memenangkan Coppa Italia kehabisan napas di babak akhir paska kompetisi ditunda akibat Pandemi Covid-19.

Pada akhirnya mentalitas kuat, kedalaman skuad, karakter tangguh, dan pengalaman yang dimiliki, mengantarkan Juventus kembali juara. Klub ini punya standar sendiri yang terlampau sulit dilewati rival.

Apakah Liga Italia tak lagi menarik? Bisa dijawab iya, kompetisi yang dulu paling kompetitif ini butuh penantang kuat, rival sepadan yang setidaknya bisa mengganggu dan menghentikan dominasi Juventus. Liga Inggris contohnya, patut berterimakasih pada sosok Arsene Wenger yang menukangi Arsenal, dan dianggap berhasil menahan hegemoni Manchester United Alex Ferguson. Jika tidak, Liga Inggris diyakini tidak akan sehebat dewasa ini.

Musim depan saya berharap ada klub yang mengkudeta tahta Si Nyonya Besar. Atau setidaknya kita merindukan Serie A yang seru hingga giornata pamungkas, seperti pada musim 1999, 2000, 2001, 2002, dan 2008.

Bagi Juventus sendiri, dominasi domestik akan diuji pada Liga Champions, turnamen yang tak pernah dapat dikuasai Sang Nyonya sejak 24 tahun silam. Sembilan scudetto tanpa trofi Liga Champions membuat Juventus sering diolok-olok sebagai tim jago kandang, kerap disindir karena bertanding di Liga Champions, Juventus tak bisa ‘dilayani’ para wasit sebagaimana jika tampil di Serie A. Megabintang Christiano Ronaldo dibeli dari Real Madrid untuk misi itu, namun masih gagal pada percobaan pertama musim lalu.

Demikian kisah Sang Nyonya Besar yang terhormat.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja