Humba Dreams: Tak Ada yang Mudah Persoalan Wasiat Keluarga

Rumah produksi Miles meluncurkan film terbarunya yang berjudul Humba Dreams.

Duet Riri Riza dan Mira Lesmana kembali melanjutkan ciri kas film-film Miles sebelumnya, yakni menjelajahi dan mengekplor lebih jauh tentang pesona Indonesia yang tak pernah pudar.

Setelah sukses pada Laskar Pelangi (2008) di Pulau Belitung yang menakjubkan; Athirah (2016) di tanah Bugis yang subur dengan persawahan; Ku Lari ke Pantai (2018) menyusuri kawasan Pantura Pulau Jawa, Bali, dan Lombok yang eksotis.

Kali ini, melalui Humba Dreams, menonjolkan keindahan Pulau Sumba, dirilis di platorm Netflix mulai Kamis 9 Juli 2020 lalu.

Humba Dreams bertutur sangat sederhana, lambat, minim dialog, dan sepi. Tokoh utamanya adalah Martin, diperankan dengan baik oleh JS Khiaren, pemuda Sumba yang mengambil sekolah film di Jakarta. Ia bercita-cita menjadi sutradara film. Barangkali terinspirasi dari mendiang ayahnya yang berprofesi sebagai fotografer di Sumba. 

Bagi keluarga dan tetangga Martin, fotografer dan sutradara adalah profesi yang sama saja, meskipun Martin sudah menjelaskan berkali-kali perbedaannya.

Martin yang sudah larut dalam kehidupan ibukota--ia berlogat Jakarta dengan baik- diminta pulang secara paksa oleh ibunya di desa Prailu Waingapu, untuk menyelesaikan urusan wasiat ayahnya berupa kotak.

Sebuah box yang berisi kamera video dan sebuah rol film ukuran 16 milimeter yang belum dicetak. Sangat simpel pada mulanya, dan Martin percaya persoalan ini akan cepat beres, dan ia bisa kembali ke Jakarta, menyelesaikan tugas akhir kuliahnya.

Tapi tak ada urusan mudah dalam persoalan wasiat keluarga tradisional. Martin tak diizinkan mengerjakan rol tersebut di Jakarta. Masalahnya sangat sulit memproses rol film itu di Sumba, terlebih saat ini zaman serba digital.

Martin tidak punya pilihan selain menemukan bahan kimia dan alat untuk memproses gulungan itu. Dari kotak misteri itulah film ini bertutur dengan jujur. Perjalanan Martin tidak hanya tentang kotak wasiat, tetapi lebih tentang bagaimana dia berhubungan kembali dengan budaya Sumba dan permasalahannya. 

Ia menjelajah dari satu desa ke desa di Sumba. Dalam perjalanan ia bertemu banyak orang, termasuk dengan Ana (Uli Apriliani), pekerja sebuah hotel yang memiliki jaringan wifii bagus, fasilitas yang dibutuhkan Martin untuk mengerjakan proyeknya. Ana adalah istri yang kesepian, karena suaminya tak ada kabar selama 10 tahun setelah pergi bekerja ke luar negeri.

Hubungan sentral Martin dan Ana diceritakan dengan simbol dan ragam penafsiran. Cara mereka berkenalan, cara mereka berpandangan, cara mereka berbicara, dan cara mereka intim dieksekusi begitu tajam sekaligus tersirat pertentangan nilai-nilai modern yang mereka hadapi. Martin melambangkan modernitas yang identitasnya telah terkikis, sementara Ana simbol orang Sumba yang kebingungan dan bahkan menderita dengan modernitas itu.

Selain hubungan dengan Ana, plot cerita juga dikembangkan dari kisah reuni Martin dengan Jean Luc, teman kecilnya, yang sekarang bekerja sebagai penyiar radio Max FM. Program-program radio yang dibawakan Jean Luc bertemakan isu-isu sosial. Seperti korban kekerasan tenaga kerja perempuan, human trafficking, kekerasan rumah tangga, dan sebagainya. Jean Luc selalu menenggak peci, minuman keras khas Sumba sebelum on-air.

Sumba sudah beberapa kali dibuatkan dalam film, namun cenderung hanya menonjolkan dari sudut pandang pariwisata atau promosi liburan para orang Jakarta. Humba Dreams lebih berfokus pada detail kecil. Riri mencoba mengambil pendekatan berbeda, ia mengangkat masyarakat Sumba dengan perspektif sarat konflik.

Ada nilai kepercayaan masyarakat tentang jasad ayah Martin masih disimpan di dalam rumah. Tentang persoalan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, buruknya infrasruktur telekomunikasi dan transportasi yang masih harus dihadapi masyarakat Sumba, dan sebagainya. 

Semua pesan ditampilkan dengan cara bijaksana namun substansial, melalui karakter-karakter reflektif dan jujur yang sangat dekat dengan keseharian, membuat kita merenungkan dan mulai berpikir apa dan bagaimana yang dapat kita lakukan untuk membantu.

Riri juga berhasil menghadirkan gambar-gambar pesona alam Sumba yang memikat dengan menampilkan sudut-sudut kota, gurun sabana, pasar tradisional, peternakan kuda, dan sebagainya. Visual mengesankan yang bercerita dengan caranya sendiri.

Pada babak akhir film yang berdurasi 75 menit, saya menyukai adegan orang desa berkumpul untuk menyaksikan rekaman rol film wasiat yang telah selesai dikerjakan Martin, membuat kita bernostalgia ria. Waktu seperti terlipat pada kenangan-kenangan membuka foto album, membaca buku, atau menulis catatan harian.

Kontras dengan keseharian kita saat ini, semua kegiatan meskipun hal sepele selalu difoto, direkam, kemudian dibagikan, tapi ribuan foto dan video yang kita buat begitu gampang terlupakan. Tak ada lagi momen yang benar-benar berharga. Semuanya sama saja, makan siang di mall sama berharganya saat wisuda di kampus.

Humba Dreams adalah film yang unik dan mengesankan dari banyak aspek, termasuk gaya penggarapan. Film dengan nilai-nilai kebijaksanaan ini mengajak kita berefleksi pada identitas, kembali ke akar budaya kita dari masa tumbuh kembang.

Salam.

 




 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja