Pro Kontra Hubungan Sepak Bola dan Politik


Ini catatan kecil hasil investigasi Intermezzo Majalah Tempo edisi minggu ini (2-8 Juni 2014) yang berjudul Sepak Bola dan Politik.

Tak bisa dibantah, sepak bola adalah olahraga paling populer di dunia, oleh karenanya, tidak pernah bisa steril dari politik. Seperti keping mata uang yang bersisian, adanya intrik politik di olahraga ini bisa membawa efek positif, sekaligus dampak negatif yang merugikan.

Sepak bola bisa menjadi pemersatu sebuah negara yang sangat sulit disatukan oleh kelompok politisi. Tengoklah Bosnia-Herzogivina. Negara pecahan Yugoslavia yang terletak di semenanjung Balkan Eropa Selatan, dengan populasi hanya empat juta jiwa. Penduduk Bosnia-Herzegovina terdiri dari tiga etnis besar: Bosnia, Sebia, dan Kroasia.

Sejak negara itu berdiri lebih dua dekade silam, konflik tiga etnis tersebut tidak pernah padam. Perang brutal, ketakaman politik, keadaan ekonomi memprihatinkan, dan kebencian antar etnis terus melanggengkan permusuhan. Setiap etnis mengklaim sebagai yang terunggul dan merasa paling superior.

Hanya sepak bola yang bisa menyelamatkan dari kehancuran. Memang sungguh tidak mudah membentuk satu kesebelasan nasional yang solid dari tiga etnis tersebut. Namun itulah yang dilakukan Miroslav Blazevic, Safet Susic—dua pelatih Timnas terakhir. Hasilnya Bosnia-Herzogivina melaju ke Piala Dunia 2014, untuk pertama kali. Sukses besar yang tercatat dalam sejarah itu menyatukan negara mereka. Luar biasa.

****

Ditulis juga dalam artikel tentang Didier Drogba, “Manusia Mesin” dari Pantai Gading, negara bagian barat benua Afrika. Bagi penggemar sepak bola, terkhusus fans Chelsea, mungkin hanya mengenal Drogba sebagai pesepak bola hebat dengan prestasi gemilang, atau legenda hidup The Blues, karena Drogba pernah mengantarkan Chelsea menjadi juara Liga Champion untuk pertama kali tahun 2012.

Namun bagi penduduk negara Pantai Gading, Drogba bukan hanya pesepak bola, dia seorang pahlawan yang sanggup mendamaikan negaranya dalam perang saudara yang panjang. Tentu perjuangannya bukan dari panggung politik, namun di lapangan sepakbola.

Dikisahkan Pantai Gading pada 1999 adalah negeri yang suram dan tak punya masa depan. Dua kubu terus bentrok. Pemberontak menguasai wilayah selatan, pemerintah mengontrol utara. Sedikitnya 3000 orang tewas akibat konflik ini.

Mujizat Tuhan datang ketika pada Oktober 2005, Drogba membawa Pantai Gading untuk pertama kalinya menembus Piala Dunia 2006 di Jerman, setelah menekuk Sudan 3-1. Ribuan orang turun ke jalan untuk merayakan kemenangan tersebut. 

Saat itu Drogba memimpin rekan-rekannya seraya berkata “Saudara-saudaraku di utara dan selatan, kami berlutut untuk memohon agar kalian menghentikan peperangan ini. Negara hebat seperti Pantai Gading tidak boleh tenggelam dalam genangan darah.”.

Kalimat mengharukan itu terus diputar untuk menyentuh hati kedua kubu. Hasilnya membawa efek luar biasa. Tak lama setelah itu, pemerintah dan pasukan pemberontak meneken gencatan senjata. Kestabilan politik membuat Timnas Pantai Gading menjadi kekuatan baru Afrika yang tak pernah absen hingga piala dunia ini.  

****

Sepakbola menjadi simbol perjuangan melawan kediktatoran juga terjadi di Ukraina pada 2014.

Pendukung garis keras atau ultras dari berbagai klub domestik, meninggkalkan identitas yang selama ini sangat disakralkan, untuk pertama kali mereka bersatu. Perkembangan krisis politik yang terjadi pada negara yang baru saja menyelenggarakan Piala Eropa 2012, semakin genting, akhirnya membuat kelompok penggemar fanatik yang sebelumnya anti politik terseret pula dalam arus penyelamatan.

Kehadiran ultras yang mengerahkan ratusan ribu manusia untuk mengawal pengunjuk rasa menentang penguasa akhirnya membuat presiden Ukraina, Viktor Yanukovych, terusir dari negaranya, meski dengan banyak korban jiwa. Setelah itu seperti diberitakan, para ultras yang sebelumnya saling membenci kini hidup berdampingan. Mereka punya musuh bersama yang jauh lebih penting diperangi, yakni pemerintah yang korup dan tiran.

Kisah serupa juga terjadi ketika unjuk rasa di Mesir yang banyak melibatkan pendukung klub sepak bola di negara itu, berhasil menggulingkan rezim Husni Mubarak dari tampuk kekuasaan selama 30 tahun.  

****

Sepak bola pun bisa menjadi alasan kuat terjadinya konflik senjata. Honduras dan El Salvador, dua negara di Amerika Tengah pernah berperang pada 1969, hanya gara-gara sepakbola. Konflik politik kedua negara menemukan muaranya ketika melakoni kualifikasi piala dunia 1970. Permusuhan akibat pertandingan sepak bola segera berubah menjadi pemutusan hubungan diplomatik. Pada 14 Juli 1969, tentara Salvador menyerang Honduras. Dikenal sebagai perang Seratus Jam karena berlangsung selama empat hari.

****

Sepakbola pada akhirnya tidak hanya selesai pada sebuah seremoni mengangkat piala. Salam sepak bola.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja