Suku Bugis dan Makassar itu Berbeda

(dok. pri)


Empat kelompok suku terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan adalah: Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.

Namun acap kali orang luar atau pendatang tidak dapat membedakan antara orang Bugis dan orang Makassar. Sangat sering, kata ‘Bugis’ dan ‘Makassar’ disandingkan, sehingga banyak yang menilai kata ‘Bugis’ dan ‘Makassar’ adalah sinonim. Bahkan orang Bugis dan orang Makasaar yang bersangkutan, juga para ilmuwan setempat sendiri turut berperan menghilangkan perbedaan kedua suku tersebut dengan melafal dan menuliskan kedua istilah tersebut menjadi kesatuan : ‘Bugis-Makassar’

Kecenderungan ini memang berdasarkan atas beragamnya kesamaan identitas mereka sebagai dua suku bertetangga yang mengatasi perbedaan suku dan bahasa mereka. Mereka, mungkin, dua suku di nusantara yang sistem hierarkinya paling kaku dan rumit. Sangat hitam putih. Proses similasi dan alkulturasi di segala aspek kehidupan, termasuk dalam seni sastra, menciptakan berbagai kesamaan budaya antara kedua suku tersebut.

Faktor paling utama adalah sesama komunitas muslim mayoritas di Sulsel. Kedua suku menjadikan agama Islam sebagai bagian kesatuan dan sangat esensial dari adat istiadat dan budaya mereka berdua. Konon muslim etnis Bugis dan Makassar adalah dua suku yang paling panjang penantiannya di nusantara untuk melaksanakan ibadah haji karena antrian yang menembus 40 tahun. Bahkan lebih.

Sepanjang peradaban kedua suku tersebut, sejumlah ciri khas melekat pada manusianya. Salah satunya bagaimana tetap berpandangan hierarkis sekaligus modern, dorongan untuk kompetitif sekaligus berkompromi, menjunjung tinggi kehormatan tapi juga merawat kesetiakawanan. Nilai-nilai keberanaian, kecerdasan, ketaatan terhadap ajaran agama, kelihaian dalam bisnis merupakan varibael yang menggerakkan kehidupan dinamis Bugis dan Makassar selama ini.

Suku Bugis dan Makassar tipikal orang berkarakter keras dan sangat menjujunjung tinggi kehormatan, bila perlu demi mempertahankan kehormatan, mereka bersedia melakukan tindak kekerasan. Tak peduli hukum positif mengancam mereka. Perilaku ini sering dialibikan dengan istilah Siri’.

Dalam kehidupan orang Bugis dan Makassar, Siri’ adalah unsur yang sangat prinsipil dalam diri mereka. Tak ada pun satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain daripada Siri’. Siri’ adalah jiwa mereka, harga diri, dam martabat mereka sebagai manusia. Tak ada lagi gunanya hidup bagi orang Bugis dan orang Makassar ketika rasa bangga dan malunya tercemar atau dicemarkan oleh orang lain.

Kasus Siri’ paling sering terjadi hingga kini adalah kawin lari (Silariang). Bagi keluarga gadis yang dilarikan, dengan alasan suka sama suka pun, itu adalah penghinaan besar, aib, tak terampuni. Sehingga semua keluarga laki-laki sang gadis berkewajiban untuk menemukan dan membunuh si laki-laki pujaan hati gadis itu. Bukan hanya antar pasangan tapi melebar ke dendam antar keluarga. Faktanya, banyak orang Bugis dan Makassar rela divonis berat oleh pengadilan demi mengembalikan Siri’ keluarga.

Terlepas dari banyaknya persamaan dan eratnya hubungan serta saling menaruh hormat, sangat perlu ditegaskan bahwa orang Bugis dan Makassar tetaplah dua suku yang berbeda. Orang Bugis berpopulasi lebih dari empat juta orang, menghuni hampir seluruh daratan dan perbukitan sebelah tengah dan selatan. Sedangkan orang Makassar dengan populasi lebih dari dua juta orang menetap di ujung selatan semenanjung, tersebar di sepanjang tepi pantai maupun di pegunungan. Bahasa, contohnya. Kedua pihak baik Bugis dan Makassar tidak dapat saling mengerti manakala mereka berinteraksi dengan bahasa masing-masing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja