Merawat Kekayaan Indonesia Tercinta



Perjamuan diplomasi di London, Inggris, lebih dari setengah abad silam. Seorang paruh baya berbalut vez hitam menyulut sebatang rokok. Seketika mengepullah asap dari bibirnya yang sedikit tertutupi oleh kumis uban.

 

Aroma menyebar merasuki ruangan, kemudian Diplomat tuan bule menghampiri laki-lali tersebut seraya bertanya. "Apakah gerangan rokok yang sedang Tuan isap?" "Inilah, Yang Mulia, yang menjadi alasan mengapa Barat menjajah dunia."

 

Tokoh pengisap rokok dalam cerita itu tak lain adalah Haji Agus Salim, Duta Besar Indonesia pertama untuk Inggris. Adegan ini diceritakan kembali oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku Mark Hanusz, The Culture and Heritage of Indonesia's Clove Cigarette.  Jawaban cerdas Agus Salim bukan sekadar sindiran telak bagi kaum kapitalis, tapi sekaligus penegasan menyiratkan rasa bangga terhadap satu dari seabrek kekayaan alam Indonesia yang melimpah. Yakni cengkeh, kopi, lada, tembakau, dan sebagainya.

 

Jauh sebelum perjamuan simbolis itu, Pramoedya juga menulis dalam bukunya berjudul Panggil Aku Kartini Saja, bahwa pada pertengahan abad ke-19 atau pada 1830, dari Belanda, Raja Willem mengirim Gubernur Jenderal Johanes Van den Bosch untuk berkuasa di Pulau Jawa. Van den Bosch pun memerintah dengan tangan besi. Salah satu kebijakannya menerapkan sistem tanam paksa atau Cultuurstelsel.  

 

Tanam paksa mewajibkan setiap penduduk untuk menyisihkan tanahnya guna ditanami komoditas ekspor unggulan seperti kopi, tebu, tembakau, nila, dan sebagainya. Jika telah panen hasilnya dijual ke pemerintah kolonial dengan harga yang telah ditentukan sepihak. Penduduk yang tidak punya tanah, harus kerja di perkebunan pemerintah selama 66 hari dalam setahun. Gratis.

 

Sistem tanah paksa yang berlangsung hampir 50 tahun menghasilkan 800 juta gulden atau 34 persen pendapatan Kerajaan Belanda. Belanda menjadi kekuatan dominan dunia di pasar ekonomi Eropa. Setelah krisis keuangan akibat perang Eropa, perekonomian Belanda stabil, perdagangan dan industri bergerak kembali.

 

Bertolak belakang dengan Pribumi yang bekerja keras di tanahnya sendiri. Tanam paksa yang disuburkan oleh keringat, darah, dan air mata Pribumi hanya menimbulkan kesengsaraan dan kemiskinan. Jika dulu Pribumi menderita buat perjuangan, sekarang pribumi makin menderita tanpa sesuatu pun manfaat bagi dirinya.

 

*****

 

Kekayaan sumber alam dan hayati Indonesia nomor dua dunia setelah Amerika Serikat, dan letak Indonesia yang strategis, mengundang kelompok-kelompok kapitalis untuk mereguk kembali keuntungan yang besar dari alam Indonesia seperti saat Belanda menerapkan Cultuurstelsel. 

 

Ancaman itu kini datang dari segala penjuru. Konstitusi ekonomi kita dapat menjawab ancaman tersebut. Telah tercantum pada Pasal 33 UUD 1945, yang merupakan dasar dari setiap kebijakan pemerintah terkait bidang ekonomi. Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa: "Sumber daya alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat."


Bunyi pasal yang sudah sangat jelas, tak bisa ditafsirkan berbeda. Kita jelas memiliki kepentingan besar dalam kaitannya dengan pemanfaatan kekayaan hayati yang beraneka ragam dan melimpah sebagai warisan turun-temurun nenek moyang.

 

Secara sederhana, sudahkah kita tahu sebenarnya apa saja ragam kekayaan hayati kita dan berapa banyak? Sudahkah kita memiliki inventarisasi dan mendokumentasikannya dalam sebuah bank data untuk itu? Tanpa itu, kita akan menemui banyak kesulitan dan permasalahan yang tidak perlu.

 

Pesan yang bisa kita tangkap, penanganan aspek hukum menjadi penting dan memerlukan kesiapan yang baik. Semuanya harus tersusun secara rinci satu inventory nasional. Memang tak mudah, apalagi akan banyak institusi yang terkait terlibat. Pemerintah pusat sampai pemerintah daerah, Kementrian Pendidikan hingga Kementrian Pertanian seluruhnya bekerja di bidangnya. Di sinilah harus terkonsep dengan baik sistem koordinasi antar instansi. Yang penting kita melakukan, segala kekurangan adalah hal yang wajar untuk proses penyempurnaan selanjutnya.

 

Kedua, aspek perlindungan hukum. Kita telah memiliki Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Konvensi Keaneka ragaman Hayati, dan Undang-undang Tahun 2000 tentang Hak atas kekayaan Intelektual (HAKI). Undang-Undang tersebut perlu disinkronkan, dengan menyusun detail teknik peraturan pelaksanaannya.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja