Pikiranku Tahu Jogja Modern, Tapi Hatiku Sulit Menerima

Pada 2016, saya menjejakkan kaki di bandara Adisutjipto, mengirup udara Jogja setelah tiga tahun tak ‘pulang’. Spesialnya saya tidak sendiri lagi, untuk kali pertama, memboyong istri dan anak. Membawa saya pada kenangan lama, ke nostalgia yang sejatinya tak pernah berlalu dalam hidup saya.

Pada 1997 saya disekolahkan ayah di kota pelajar ini, dan setiap bulan saya dikirimi uang Rp. 150 ribu. Zaman itu sekali makan di warung dengan menu lauk-pauk macam nasi sayur ayam tempe-tahu, kerupuk, minuman es teh, dan sebatang rokok, dikisaran harga Rp. 700 s/d Rp. 900,-.

Mimpi indah itu usai, setelah negeri kita diterpa krisis moneter yang menciptakan reformasi pada 1998. Tak ada lagi sekali makan di bawah harga seribu (sewu). Kemarin, saya mampir makan siang dengan menu makanan yang serupa dulu, harganya sekarang Rp. 7. 000. Artinya berdasarkan estimasi, dalam rentang 19 tahun kemudian, biaya hidup di Jogja telah melonjak hampir sepuluh kali.

Nah, seharusnya uang senilai Rp. 1,5 juta (hasil bertanya berapa rerata kiriman anak kos saat ini) lebih dari cukup. Namun hidup sekarang di Jogja tak sesederhana sewaktu zaman kami.

Dulu persoalan utama hanya urusan bisa makan, titik. Syukur-syukur jika tak punya kasbon di kedai langganan. Hangout ke Malioboro Mall atau ke Galeria Mall adalah hal yang istimewa. Kebanyakan kami berkumpul berganti-ganti di satu kamar kos. Paling-paling jika ada sedikit uang, kami nankring di warung koboi (angkringan) yang murah meriah.

Di Jogja era millennium sekarang, mereka lebih senang kongkow di mal-mal dan café-café franchise yang tumbuh seperti jamur di musim penghujan.

Dengan berat harus saya katakan bahwa Jogja menjelma kota modern sedemikian cepatnya. Menciptakan metropolitan yang gemerlap, mencoba meniru kemegahan Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Wajah kota yang bersahaja, kalem, sederhana semakin tak nampak lagi.

Susurilah kota, maka dengan mudah anda akan menemukan puluhan hotel dan mall mewah berdiri angkuh di sepanjang jalan. Terasa mengintimadasi orang yang memandang dan masuk ke dalamnya. Padahal dulu, konon, tak boleh ada bangunan gedung yang berdiri melampaui tingginya Hotel Ambarukmo. Bisa kualat katanya. 

Meskipun saya tak percaya dengan mitos itu, saya tetap suka dengan faktanya.Kemudian kemacetan makin parah, suara klakson kendaraan bermotor bertambah bising, warganya pun kini selalu tergesa-gesa, tidak tertib dan tidak disiplim dalam lalu lintas. Di sepanjang jalanan, iklan-iklan komersial mengotori dan menganggu kenyamanan dan keindahan Jogja.

Toko ritel minimarket semakin berdempetan, café-café kelas urban tumbuh dimana-mana mengikuti pemukiman mahasiswa. Membuat saya merasa seperti tidak berada di Jogja di titik-titik tersebut.

Beberapa kali saya menyambangi ruang-ruang publik seperti di café, atau di Mall, di mana mereka berkumpul di satu meja. Namun perkumpulan hanya secara fisik, pikiran mereka telah tertanam pada gadget masing-masing. 

Tak ada obrolan seru dan diskusi sengit seperti halnya dulu jika kami meriung mengitari satu meja. Di titik ini, teknologi informasi menghambarkan kualitas kehidupan waktu bersama, membuat hidup tak lebih menyenangkan.

Ibarat musik, kita kehilangan irama, ritme, dan jeda. Sesuatu yang sangat mahal nilanya. Kesimpulannya, pikiran saya tahu bahwa sekarang Jogja jauh lebih modern, namun sesungguhnya hatiku sulit menerima.

Saya pun paham Jogja tak bisa sama lagi, namun saya selalu merindukan kota ini.

Salam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja